Jumat, 01 Januari 2016

Al Muwafaqat: Karya Masterpiece Imam Syatibi

AL MUWAFAQAT
Karya Masterpiece Imam Syatibi (W: 790 H/1388 M)
(Kajian Historis, dan Kandungan Isi Kitab Secara Garis Besar)
Oleh: Herdiansyah Amran, Lc.*

Bagi mereka yang berkecimpung dalam kajian Syariat Islam, terkhusus fan Maqashid Syariah, tentu tidak asing lagi dengan sebuah adikarya sang bintang Andalusia, Imam Abu Ishaq Asy Syatiby yang berjudul "Al – Muwafaqat".

Bagaimana tidak, karena Al Muwafaqat saat ini merupakan salah satu referensi paling primer bagi mereka yang ingin menyelami lebih dalam kajian tentang Maqashid syari'ah.

Hal ini, tentu disebabkan karena ia merupakan kitab pertama yang membahas kajian tentang Maqashid Syari'ah pada sub kajian khusus secara mendetail. Yang belum pernah ada pada karya – karya  pendahulunya.

Disebabkan betapa urgennya kitab yang satu ini, tentu kajian terhadapnya juga tidak kalah urgen. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibahas kajian tetang seluk-beluk Al Muwafaqat, yaitu mengenai sejarah dan kandungan isinya secara garis besar.

Judul Kitab
Sudah lumrah di kalangan ulama terdahulu, dalam setiap kata pengantar sebuah karya mereka, selalu disebutkan judul kitab yang ditulis beserta alasan kenapa judul itu dipilih.

Begitu pula yang dilakukan oleh Imam Syatibi. Ia menyebutkan dalam kata pengantarnya bahwa judul awal yang ia pilih untuk karya tulisnya yang satu ini ialah "'Unwan At Ta'rif Fi Asrari At Taklif".[1]

Namun kemudian, judul ini ia ganti menjadi Al Muwafaqat. Disebabkan seorang guru yang sangat ia hormati bercerita kepadanya tentang sebuah mimpi yang menimpa sang guru.

Sang guru itu bercerita bahwa di suatu malam, ia bermimpi bertemu Imam Syatibi sedang memegang kitab yang ia tulis. Lalu sang guru bertanya tentang kitab tersebut. Imam Syatibi pun menjawab bahwa kitab yang ada di tangannya itu ialah Al Muwafaqat. Lebih lanjut sang guru pun kembali bertanya arti nama yang indah itu. Imam Syatibi menjawab bahwa nama itu dipilih karena ia ingin mempertemukan kesepahaman (Toleransi) antar dua Madzhab yang sama-sama memiliki banyak pengikut fanatik di Andalusia saat itu, yaitu Madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah.

Setelah mendegar cerita sang guru, dan menyadari adanya kesamaan mengenai apa yang ia tulis dengan mimpi sang guru tersebut. Imam Syatibi pun kemudian memilih Al Muwafaqat untuk nama kitabnya ini.

Kemudian, sebagian ulama kontemporer yang melakukan editisasi menambahkan sisipan nama pada kitab Al Muwafaqat. Hal ini sepertimana terlihat pada cetakkan yang diedit oleh Syekh Abdullah Diraz dengan judul Al Muwafaqat Fi Ushul Asy Syariah.

Sedangkan pada cetakkan yang diedit oleh Syekh Muhyiddin Abdul Hamid, berjudul Al Muwafaqat Fi Ushul Ahkam. Begitu pula pada cetakkan yang dirilis berdasarkan bimbingan Prof. Muhammad Al Khadr At Tunisi dan Syekh Husnin Makhluf.

Respon Para Ulama Tentang Al Muwafaqat
Kitab Al Muwafaqat pada awalnya dan beberapa abad kemudian, tidak mendapat respon berarti dari para ulama. Ia seolah-olah tenggelam ditelan bumi, menguap diantara hiruk-pikuk peradaban islam yang mulai melemah  mengiringi runtuhnya peradaban islam di Andalusia.

Respon luar biasa terhadap Al Muwafaqat baru terjadi beberapa abad kemudian. Yang dimulai dipenghujung abad ke – 19 M.

Respon tersebut, baik berupa karya seputar Al Muwafaqat (Ringkasan, Nazham (Syair), Tahqiq, dll), maupun komentar positif terhadap kitab dan isi kandungannya.

Beberapa karya yang dirilis seputar Al Muwafaqat antara lain:

1.    Ringkasan (Kitab atau Ulama Yang Meringkas):
-       Al Muna Fi Ikhtishary Al Muwafaqat,[2] oleh Abu Bakar Bin Ashim.[3]
-    Syekh Muhammad Yahya Bin Umar Al Mukhtar Bin At Thalib Abdullah Al Walaty Asy Syinqity (w: 1330 H/1912 M).
-       Syekh Ibrahim Bin Thahir Bin Ahmad Bin As'ad Al 'Azham (w: 1377 H/1957 M).[4]
-       Taisir Al Muwafaqat Li Al Imam Asy Syatibi, Oleh DR. Nu'man Jughaim.[5]
-       Tahzib Al Muwafaqat, oleh Muhammad Bin Husen Al Jaizany.[6]
2.    Nazham (Syair):
-   Nail Al Muna Min Al Muwafaqat.[7]
- Muwafaq Al Muwafaqat, oleh Musthafa Bin Muhammad Fadhil Bin Muhammad Ma'main Asy Syinqity Al Qalqamy (w: 1328 H/1910 M).
3.    Tahqiq (Ulama Pentahqiq):
- Syekh Abdullah Diraz
- Syekh Muhammad Muhyiddin Bin Abdul Hamid.
- Syekh Masyhur Bin Hasan Ali Salman.
4.    Karya tersendiri yang tetap merujuk kepada Al Muwafaqat:
-     Maqashid Asy Syariah Al Islamiyyah, karya Syekh Thaha Bin Asyur At Tunisi (1879 M/1296 H – 1973 M/1393 H).
-  Maqashid Asy Syariah Al Islamiyyah Wa Makarimuha, karya syekh 'Alal Al Fasi (1910 -  1974 M).
-     Asy Syatibi Wa Maqashid Asy Syariah, karya Hammady Al 'Ubaidy.[8]
-      Nazhriyyah Al Maqashid 'Inda Al Imam Asy Syatibi, karya DR. Ahmad Raisuni.
-  Dan lain-lain.
Sedangkan pujian atau komentar positif terhadap Kitab Al Muwafaqat sangat beragam, berikut beberapa diantaranya:

-       Imam Marzuq berkomentar: "kitab Muwafaqat merupakan salah satu kitab yang paling diterima".
-       Syekh Thaha Bin 'Asyur berpendapat bahwa "Imam Syatibi merupakan yang pertama mencantumkan fan Ilmu Maqashid pada satu pembahasan khusus di dalam sebuah karya tulis ilmiah".
-   Syekh Ali Hasbullah: "Imam Syatibi datang bersama kitabnya Al Muwafaqat yang belum pernah ada karya seperti itu sebelumnya".

Pencetakan Al Muwafaqat:
Kitab Al Muwafaqat mengalami beberapa kali pencetakan, yaitu sebagai berikut:
1.   Dicetak untuk pertama kali di Tunis pada tahun 1302 H/1884 M, oleh percetakan Negara. Dengan ditashih oleh tiga ulama Universitas Az Zaitunah kala itu, mereka ialah Syekh Ali Asy Syanufy, Syekh Ahmad Al Wartany, dan Syekh Shaleh Qaizy. Setebal 4 Juz.
kemudian setelah dicetak, syekh Musthafa Bin Muhammad Fadhil Bin Muhammad Ma'main As Syinqity Al Qalqamy (w: 1328 H/1910 M), yang lebih dikenal dengan nama Maau Al 'Ainain menyusun nazhamnya.  Karya ini ia beri judul "Muwafaq Al Muwafaqat". Kemudian disyarah olehnya sendiri dengan judul "Al Murafiq 'Ala Al Muwafiq". Syarah ini dicetak oleh percetakan Ahmad Yumna di kota Fes tahun 1324 H. atas infaq dari seorang panglima tersohor (kala itu) bernama Said Idris Bin 'Aisy. Setebal Satu jilid.
2.    Pencetakan juz pertama sebanyak 189 halaman di kota  Qazan (ibu kota Negara At Tatar, Rusia tahun  1327 H/1909 M.
3.    Dicetak di Mesir sebanyak 3 kali cetak, tahun 1341 H/1922 M. oleh percetakan As Salafiyyah, atas infaq Abdul Hadi Bin Muhammad Munir Ad Dimasyqy,  beserta Ta'liq Syekh Muhammad Al Khadr Husen pada juz 1 dan 2, ta'liq Syekh Muhammad Husnin Makhluf juz 3 dan 4.
kemudian dengan tahqiq Syekh Abdullah Diraz disertai kata pengantar dan analisa mendalam dari Baliau. Didistribusikan oleh percetakan At Tijariah Al Kubra - mesir.
Selanjutnya dengan tahqiq syekh Muhammad Muhyiddin Bin Abdul Hamid, melalui percetakan Muhammad Ali Shabih.

Isi Kandungan Kitab Al Muwafaqat Secara Garis Besar:
Untuk membicarakan kandungan isi Kitab Al Muwafaqat, penulis ingin membaginya kedalam 2 kategori, yaitu kategori umum dan Khusus. Kategori umum berisi pembahasan isi kitab secara menyeluruh. Sedangkan kategori khusus berisi pembahasan tentang Maqashid Asy Asyariah yang terdapat dalam kitab.
Kategori Umum:
Secara umum, kitab Al Muwafaqat berisi 5 kajian inti, yaitu sebagai berikut:[9]
Ø Bagian I:
Berisi pendahuluan yang terkandung didalamnya sebanyak 13 muqaddimah. Ketiga belas muqaddimah merupakan panduan (ilmiah) penting sebelum menyelami isi kitab secara keseluruhan.
Ø Bagian II:
Berisi kajian tentang hukum-hukum syariat, baik yang bersifat Taklify yaitu: Wajib, Sunnah, Haram; Makruh, dan Mubah. Maupun yang bersifat Wad'i yaitu: Sebab, Syarat, Mani'; Shahih dan Fasid, Azimah dan Rukhsoh.
Ø Bagian III:
Berisi kajian tentang Maqashid Syariah dan segala yang berhubungan dengannya dari hukum-hukum syariah.
Ø Bagian VI:
Membahas tentang dalil-dalil sumber pengambilan hukum. Yang mencakupi pembahasan terhadap kitab dan sunnah beserta pembahasan yang berkaitan dengan keduanya, seperti pembahasan Khas (khusus) dan 'Aam (Umum), Muthlaq dan Muqayyad, Nasakh Mansukh, dan lain sebagainya.
Ø  Bagaian V:
berisi kajian tentang Ijtihad dan Taqlid. Termasuk didalamnya tentang permasalan Ta'arud dan Tarjih, Mufti dan Mustafti.
Jika kita perhatikan secara menyeluruh dari pembagian diatas, dapat disimpulkan bahwa kitab Al Muwafaqat berisi pembahasan inti yang selalu dikaji dalam kajian Ushul Fiqh.

Hanya saja Imam Syatibi selalu menyertakan ruh Maqashid dalam setiap pembahasannya. Dimulai dari muqaddimah hingga akhir kitabnya tentang ijtihad.

Kategori Khusus:
Jika diatas merupakan cakupan isi kandungan Al Muwafaqat secara umum, maka dalam pembahasan ini akan diulas secara khusus tentang bagian ke tiga yang terdapat dalam Al Muwafakat, yaitu tentang Maqashid Syariah.

Pembahasan Maqashid Syariah dalam Al Muwafaqat dapat dibagi ke dalam 4 bagian:
Pertama, Muqaddimah yang membahas ringkas tentang Illah dan Hikmah hukum syariah.

Kedua, Maqasid Syari' yang berisi pembahasan mengenai tujuan Allah Swt menurunkan undang-undang berupa hukum-hukum syariat kepada hambanya (Manusia) di Dunia.

Ketiga, Maqasid Mukallaf, yang mengkaji tentang niat (tujuan) manusia disegala aktivitas yang ia kerjakan dalam kehidupannya di dunia ini.

Keempat, penutup yang berisi kajian khusus tentang bagaimana cara mengetahui Maqashid Syari'.

Diawal pembahasan tentang Maqashid Syariah dalam kitabnya Al Muwafaqat, Imam Syatibi membagi Maqashid (berdasarkan sumber asalnya) kepada dua macam. Yaitu Maqashid syari' (Allah Swt) dan Maqashid Mukallaf (manusia sebagai hamba).

Maqashid Syari' terbagi empat macam, yaitu:
-    Maqashid Syari' dalam meletakkan syariat untuk permulaan (tujuan utama syariat diturunkan).
-   Maqashid Syari' dalam meletakkan syariat untuk dipahami. (adanya syariat agar dipahami).
-   Maqashid Syari' mengenai tatacara manusia masuk kedalam koridor syariat dan bagaimana mengamalkan syariat tersebut.
-        Maqashid Syari' jika manusia sudah berada dalam koridor syariat.

Sebelum menerangkan secara rinci empat macam Maqashid Syari' inilah Imam Syatibi memberikan pendahuluan tentang apakah hukum-hukum syariat itu mengandung illah atau hikmah. Pendahuluan ini sangat penting dalam pembahasan Maqashid selanjutnya.

Karena jika hukum-hukum syariat tanpa illah atau hikmah, maka pembahasan tentang Maqashid syariah takkan pernah hadir. Karena inti kajian Maqashid adalah tentang Illah atau hikmah (tujuan) diturunkannya hukum-hukum tersebut.

Dalam hal ini, para ulama terbagi ke dalam dua kelompok, kelompok pertama berpendapat, bahwa hukum syariat tidak mengandung illah atau hikmah sama sekali. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Arrazi.

Sedangkan kelompok kedua berpendapat, bahwa hukum – hukum syariat mengandung hikmah, yakni memelihara kemaslahatan umat manusia di dunia dan di akhirat. pendapat ini dipelopori oleh kaum Mu'tazilah, yang kemudian disepakati para ulama fiqh komtemporer, termasuk Imam Syatibi.

Setelah meyakinkan bahwa hukum-hukum syariat mengandung hikmah. Maka kemudian Imam syatibi mulai merinci pembahasan Maqashid Syari' sebagai berikut:

1.  Maqashid Syari' dalam meletakkan syariat untuk permulaan (tujuan utama syariat diturunkan).
Dalam pembahasan pertama tentang maqashid syari' ini, Imam Syatibi membaginya kepada 13 masalah (sub bahasan).

Inti pembahasan dari ketiga belas 13 masalah ini adalah bahwa tujuan diberlakukannya syariat ialah demi keberlangsungan kehidupan di alam raya berserta isinya. Yang kemudian bisa dirinci ke dalam 3 bagian:
  1. Tingkatan Maqashid berdasarkan kemaslahatan, beserta hubungan tingkatan satu dengan yang lain. (Macam Maqashid syariah berdasarkan kemaslahatan terbagi tiga, yaitu Daruriyyat (primer), Hajiyyat (sekunder), Tahsiniyyat (tersier); Hubungan ketiganya saling melengkapi satu dengan yang lain; Syarat-syarat menjadi pelengkap; Daruriyyat sumber asal Hajiyyat dan Tahsiniyyat)
  2. Tinjauan Mashalih (kemaslahatan) dan Mafasid (kerusakan) dalam syariat. (kemaslahatan dan kerusakan berdasarkan persepektif syariat dan realita di lapangan; Persepektif Dunia; persepektif Akhirat; Syariat bertujuan membangun kemaslahatan dunia dan akhirat; kemaslahatan yang dipertahankan syariat dan kerusakan yang dicegah syariat; kemaslahatan dunia sebagai pijakan kemaslahatan akhirat; bukti-bukti bahwa syariat bertujuan menjaga kemaslahatan Daruriyyat, Hajiyyat, dan Tahsiniyyat; Kemaslahatan Daruriyyat, Hajiyyat, dan Tahsiniyyat bersifat universal, tidak dapat dibantah oleh permasalahan yang bersipat parsial).
  3. Syariat terjaga sepanjang masa.
2.  Maqashid Syari' dalam meletakkan syariat untuk dipahami.
Pembahasan bagian kedua ini terbagi kedalam 5 masalah. Inti pembahasannya ialah bahwa syariat ini diturunkan dalam bahasa Arab, dan bersifat ummi. Yang kemudian bisa dirinci menjadi 4 bagian:
  1. Al Qur'an berbahasa Arab seluruhnya, tidak ada campuran bahasa 'Ajam (Asing) di dalamnya.
  2. Penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an ke dalam bahasa asing.
  3. Syariat bersifat ummi, karena diturunkan kepada Nabi dan penduduk yang mayoritas ummi. (Artinya syariat turun dengan kemudahan untuk dipahami).
  4. Cara menggali hukum syariat berdasarkan Nash-nash syariat, (apakah melalui pemahaman tersurat atau tersirat, atau kedua-duanya).
3.  Maqashid Syari' mengenai tatacara manusia masuk kedalam koridor syariat dan bagaimana mengamalkan syariat tersebut.
Pembahasan bagian ini terbagi kedalam 12 masalah. Dengan inti kajiannya bahwa hukum syariat dibebankan kepada mereka yang mampu melaksanakannya. Yang kemudian dapat dirinci kedalam 3 bagian:
  1. Qudrah (Kemampuan) seorang hamba adalah syarat diberlakukannya bembebanan hukum kepadanya.
  2. Masyaqqah (Kesusahan) dalam pelaksanaan hukum syariat. (Pengertian Masyaqqah; Masyaqqah yang dianggap dan tidak dianggap oleh syariat; Masyaqqah melawan hawa nafsu; Tingkatan Masyaqqah berbeda-beda).
  3. Wasathiyyah (tidak berlebih-lebihan) dalam syariat islam.
4.  Maqashid Syari' jika manusia sudah  berada dalam koridor syariat.
Pembahasan bagian terakhir dari Maqashid Syari' ini terbagi kedalam 20 masalah. Inti pembahasannya adalah bahwa tujuan syariat diturunkan ialah untuk mengeluarkan manusia dari kongkongan hawa nafsunya, sehinggga ia ikhlas dalam menjalankan titah Tuhannya. Tanpa merasa terpaksa. Rincian pembahsan ini bisa dibagi kedalam 9 bagian:
  1. Maqashid berdasarkan orientasinya terbagi terbagi dua, Ashli (utama/pokok), dan Tabi'ah (turunan/rincian).
  2. Daruriyyat terbagi dua; pertama: Manusia mendapatkan kemaslahatannya secara langsung; Kedua: Manusia tidak mendapat kemaslahatannya secara langsung.
  3. Kewajiban dalam ibadah setiap orang tidak boleh digantikan oleh orang lain. Sedangkan dalam hal mu'amalah boleh ada pengganti.
  4. Pelaksanaan syariat bersifat Dawam (kontinuitas).
  5. Syariat bersifat universal bagi setiap Mukallaf, tidak dikhususkan kepada pihak atau golongan tertentu. Semuanya sama dimata syariat.
  6. Segala kelebihan yang diberikan Allah Swt kepada Rasululllah Saw, juga diberikan sebagiannya kepada umatnya (karena sifat syariat yang universal itu tadi).
  7. Prasyarat diterimanya Karamah para wali adalah bahwa karamah itu harus selalu dalam koridor syariat islam.
  8. Adat istiadat (kebiasaan) dalam tinjauan syariat dan hukum adat.
  9. Besarnya Ketaatan dan kemaksiatan berdasarkan kemaslahatan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut.
Setelah selesai pembahasan mengenai Maqashid Syari', Imam Syatibi melanjutkan pembahasannya mengenai Maqashid Mukallaf yang ia bagi kedalam 12 masalah.

Inti pembahasan mengenai Maqashid Mukallaf adalah bahwa setiap tindakan yang dilakukan manusia sebagai seorang hamba, harus sesuai dengan Maqashid Syari'.

Rincian kajian ini dapat dibagi kedalam 6 bagian:
  1. Hukum perbuatan manusia didasarkan kepada niatnya.
  2. Segala niat (perbuatan) yang menyalahi Maqashid Tuhan, maka perbuatan itu dianggap tidak sah (batal).
  3. Macam –macam tindakan berdasarkan selaras atau tidak selaras dengan Maqashid Tuhan.
  4. Macam – macam tindakan berdasarkan kemaslahatan dan kerusakan yang ditimbulkan.
  5. Hukum menggugurkan hak Allah Swt dan hak hamba.
  6. Tipu muslihat dalam beribadah.
Pentupan
Pembahasan terakhir tentang Maqashid Syariah dalam Al Muwafaqat ialah tentang bagaimana cara mengetahui Maqashid Syari'.

Dalam hal ini, Imam Syatibi mengajukan beberapa metode agar dapat mengetahui  Maqashid Syari', yaitu sebagai berikut:
a) Berdasarkan Amar (perintah) dan Nahi (larangan) yang terdapat secara jelas dalam nash-nash Al Qur'an dan Hadist.
b) Berdasarkan Illah Amar dan Nahi, yaitu untuk apa diperintahkan, dan untuk apa dilarang.
c)  Dengan mengetahui Maqashid Ashli dan Thabi'i yang tersurat secara jelas pada nash.



Referensi:
-       Nazhriyyah Al Maqashid 'Inda Al Imam Asy Syatibi, DR. Ahmad Raisuni, Dar Al Amn-Rabat, Cet: 3, Thn: 1430 H/2009 M.
-       Al Muawafaqat, editor syekh Abdullah Diraj, Dar Al Hadist – Cairo 2006.
-       Al Muawafaqat, editor Abu 'Ubaidah Masyhur Bin Hasan Ali Salman, Dar Ibn Affan – Saudi Arabia, Cet. Ke-1, Thn 1417 H/1997 M.
-       Maqashid Asy Syariah Al Islamiyyah Wa Makarimuha, 'Alal Al Fasi, editor: DR. Ismail Hasani, Dar As Salam – Mesir, Cet:1, Thn: 1432 H/2011 M.
-       Muhadharat Fi Al Maqashid Asy Syariah, DR. Ahmad Raisuni, Dar As Salam – Mesir, Cet: 1, Thn: 1430 H/2009 M.
-       Taisir Al Muwafaqat Li Al Imam As Syatibi, DR. Nu'man Jughaim, Ibn Hazm-Lebanon, Cet:1, Thn: 2009.
-       Tahdzib Al Muwafaqat, Muhammad Bin Husen Al Jaizany, Dar Ibn Al Jauzy - Sausi Arabia, 1421 H/2000 M.

*Mahasiswa S2 Universitas Qady Ayyad - Marrakech, spesialisasi "Fikih Kontemporer Modern". Telah menyelesaikan S1 di Universitas Hassan II - Mohammedia, spesialisasi "Fikih Ushul" dengan judul skripsi "Peran Maqashid Syri'ah Dalam Ijtihad".



[1].Seperti inilah judul yang disebutkan oleh DR. Ahmad Raisuni dalam kitabnya Nazhriyah Al-Maqasid 'Inda Al-Imam Asy- Syatibi, Muhammad Bin Husen Al Jaizany dalam Tahdzib Al Muwafaqat. Namun Syekh Abdullah Diraz dalam kata pengantar menyebutkan dengan judul: "At Ta'rif Bi Asrari At Ta'rif". Sedangkan Syekh Masyhur Bin Hasan Ali Salman menyebutkan dengan judul "'Unwan At Ta'rif Fi Asrari At Taklif Al Muta'alliqah Bi Asy Syaria'h Al Hanifah"
[2]. Kitab ini belum pernah dicetak.
[3] . Beliau merupakan salah satu murid Imam Syatibi yang meninggal pada tahun 829 H.
[4] . Dicetak dan dikaji ulang oleh Baba Muhammad Abdillah (Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Malik Sa'ud –Riyad) sebanyak 2 jilid.
[5]. Dicetak oleh percetakan Ibn Hazm lebanon, cet: pertam, tahun: 2009. Setebal 723 halaman. Disertai kata pengantar.
[6]. Dicetak oleh Dar Ibn Al Jauzy, Saudi Arabia 1421 H/2000 M. Setebal 408 halaman. Disertai kata pengantar, Biografi singkat Imam Syatibi, dan Bibliografi tentang Al Muwafaqat.
[7]. kitab ini berbentuk Nazham (Al Muwafaqat) yang selesai disusun pada akhir Bulan Rabi'u Stani tahun 820 H. Oleh salah satu murid Imam Syatibi yang lain. Namun para peneliti tidak menyebutkan siapa nama sang penyusun nazham ini. Sedangkan sebagian peneliti ada yang menisbahkannya kepada Syekh Abu Bakar Bin Ashim. Berdasarkan informasi dari Prof. Abu Al Ajfan dalam kitabnya Fatawa Asy Syatibi ia mengatakan bahwa kitab ini masih terdapat di perpustakaan Der Al Askarial di Spanyol dengan tulisan tangan bernomor: 1164. Dan merupakan kitab berbahasa Arab yang paling Populer di perpustakaan kerajaan Spanyol. Kitab inipun belum pernah dicetak.    
[8].  Dicetak oleh Dar Qutaibah, tahun 1412 H/1992 M.
[9] . Berdasarkan cetakan Dar Al Hadist – Cairo. Kitab Al Muwafaqat dibagi kedalam 2 Jilid, 4 juz, dan 5 bagian. Pada jilid pertama terdapat juz 1 yang berisi bagian 1 dan 2, dan juz 2 berisi bagian 3. Selanjutnya pada jilid Kedua terdapat juz 3 berisi bagian 4, dan juz 4 berisi bagian 4 dan 5.

4 komentar: