Resentator: Fakih Abdul Azis*
Judul :Maqashidul Maqashid
Pengarang : Prof. Dr. Ahmad Raisuni ( Wakil Ketua Persatuan Ulama Islam Se-Dunia )
Tebal Halaman: 175 Halaman
Penerbit : Dar Arabia lin-Nasr wa Abhats, Beirut , Lebanon
Cetakan : Pertama, 2013
Launching : 4
Agustus 2013 ( 27 Ramadhan )
Kitab ini
termasuk kitab yang baru keluar dari
percetakan Pusat Studi dan Riset Maqashid yang mana disini Dr. Raisuni sebagai
Direktur dalam bidang keilmuan. Judul kitab ini termasuk judul yang sangat
tinggi dalam bidangnya, yang mana seperti tertulis di kitabnya "Akhir Puncak Intelektual
dan Pengaplikasian Maqashid Syariah". Didalam kitab ini terkandung 3 bab pembahasan, yaitu pertama "Maqashidul
Maqashid dalam memahami Alqur’an dan Hadits" kemudian dilanjutkan yang kedua
yaitu "Maqashidul Maqashid dalam fiqh dan Ijtihad Fiqh" dan terakhir "Tujuan
Intelektual dari Maqashid".
Yang bisa kita
simpulkan dari kitab ini adalah bahwasanya pembahasan yang pertama dan kedua
itu termasuk dari akhir ke-intelektual-an Maqashid atau katakanlah Teorinya, kemudian
yang pembahasan terakhir adalah tentang akhir dari pengaplikasiannya.
Bagusnya kitab
ini adalah mengumpulkan antara dua sisi, yaitu dari sisi Intelektual dan
Implementasinya. Dorongan kuat Dr. Raisuni dalam mengarang kitab ini adalah
untuk menghadapi orang-orang yang ngawur dalam memahami Maqashid dan Ahli
Maqashid yang melecehkan Nash Qur’an dan hadits. Karena mereka memahaminya dari
segi Maqashidnya saja dengan mengabaikan isi
Nash tersebut.
Dr. Raisuni
menolak pendapat mereka dan menulis didalam kitabnya di halaman pertama
dengan perkataan "...dan seharusnya segi Maqashid yang benar adalah dengan
memahami isi Nash juga, karena isi nash itu mempunyai banyak makna yang
tersirat".
Ajakan untuk
Interpretasi Maqashid.
Satu diantara
yang dikenalkan di kitab Dr. Raisuni "Maqashidul Maqashid" yaitu tentang
ajakannya kepada ulama dan ahli tafsir untuk selalu menjaga tujuan keseluruhan
dari Al-Qur’an itu sendiri (Maqashid Kulliyah Lil Qur’an). Ini bukan hanya
sebagian Maqashid Ayat ataupun Maqashid tiap-tiap Surah. Lebih menyeluruh. Maka
dari itu, Beliau dalam kitabnya ini meletakkan Maqashid Al-Qur'anul Karim ini dalam
pembahasan yang pertama.
Maqashid Umum
dari Al-Qur’an menurut Dr. Raisuni bahwa "Alqur’an diturunkan adalah menjelaskan kepada manusia untuk menjaganya, mengarahkan manusia
untuk selalu mengamalkan ajaranya, baik itu dari segi ayat yang mengandung
Akidah, Hukum-hukum; Sastra-sastranya, Kisahnya dll.
Sebagai misal satu
contoh Maqashid Alqur’an adalah untuk memberi hidayah kepada orang awam,
إن هذا القران يهدي للتي هي اقوم . (الاسراء: 9)
Beliau juga menyadur pendapat ulama terdahulu
mengenai Maqashid Alquran ini, mulai dari pendapat Imam Ghazali dalam kitabnya
Jawahirul Qur’an, Ibnu Abdussalam dalam kitabnya Qawaidul Ahkam fi Masholihil
Anam, Imam Al Buqqa’i dalam kitabnya Nadzmud Duror fi Tanasubil Ayati Wassuwar, Rachid
Ridha, dan terakhir pendapat Ibnu Asyur dalam tafsirnya.
Kemudian Beliau juga menambahkan Maqashid baru didalam
tujuan Al-Quran, yaitu yang dinamakan "Tujuan menjaga Pemikiran dan pandangan Lurus" bukan hanya sekedar menjaga Akal (Hifdzu Aql)
Satu diantara contoh dari menjaga pemikiran adalah tidak
ada hukum kecuali ada dalil, dan harus menggunakan perantara ilmu, riset, dan
pemahaman. Baik itu dari pendengaran, penglihatan. Serta harus merenungi setiap
cerita keteladanan sambil menjauhi kerancauan dalam metode berpikir (Taklid
buta, Persangkaan, ikut kebohongan). Menjauhi
kompromi dari sesuatu yang jelas berbeda dan membedakan sesuatu yang
jelas sudah sesuai.
Dr. Raisuni menuturkan sedikitnya ada lima tujuan akhir
ke-intelektualan Maqashid Alqur’an. Dan mempertimbangkan bahwa Maqashid Qur’an
adalah sesuatu yang seyogyanya harus dijadikan kriteria dan timbangan para Ahli
Tafsir dalam setiap metodenya dan interpretasinya. Karena dengan mengetahuinya,
menjaganya Mufassir akan bisa berjalan sesuai koridor Maqashid dan Istinbath
Hukum dari Alquran tanpa tambahan dan pengurangan. Dan inilah yang dinamakan "Interpretasi Alqur’an dalam Tinjauan Maqashidnya".
Perubahan yang Mengglobal
Dengan perkembangan
teknologi semua orang di dunia ini bisa saling mengenal satu sama lain. Saling kenal
antara satu jenis manusia dengan yang lain. Orang muslim berhijrah ke Negara
Ahli Kitab, dan diberi keamanan menyebabkan mereka menjadi Muslim minoritas. Satu
sisi ada juga orang ahli kitab hijrah ke negara Muslim mayoritas. Maka terjadilah
interaksi keduannya. Saling campur antara dua masyarakat dalam satu komunitas. Dan
dari sini Beliau berpendapat bahwa peta beragama sudah berubah, tidak seperti
zaman dahulu kala.
Maka dari itu, Beliau dalam kitab ini membahas secara khusus tentang "Pertimbangan Maqashid
didalam Ijtihad Fiqh, Sisi-sisinya dan Fasenya".
Dalam bab ini Beliau membahas secara khusus tentang pertimbangan Maqashid dalam Ijtihad
dengan mengemukakan pendapat Imam Syatibi tentang syarat yang harus dipenuhi
oleh Mujtahid dalam mengeluarkan hukum. Beliau mensyaratkan harus dengan adanya
pemahaman Maqashid syariah dan mengimplementasikannya.
Satu sisi yang
beliau tekankan dalam pembagian pertimbangan Maqashid adalah mempertimbangakan
masa depan dan efek-efeknya. Disini Dr. Raisuni berpendapat bahwa Ijtihad itu
berdiri diatas pertimbangan masa sekarang dan masa depan secara bersamaan.
Dalam pengaplikasian
modern tentang pertimbangan masa depan adalah permasalahan pencegahan
pernikahan orang Islam di Negara Barat dengan wanita Kitabiyyat. Karena untuk
sekarang ini kita belum bisa menyimpulkan secara keseluruhan bahwa wanita Kitabiyyat ini akan selalu menjaga Agamanya,dan membebaskan anaknya nanti. Justru
yang kita dapati adalah mereka pada nantinya akan merusak akidah suaminya, dan
menghancurkan akidah anak-anaknya.
Maka, Dr. Raisuni
disini menjawab bahwa ketidakbolehan menikah beda agama disini bukan
dikarenakan eksistensi nikah itu sendiri seperti yang disangkakan oleh
Ahli-ahli Fiqh. Justru karena pertimbangan masa depannya seperti yang
disebutkan diatas.
Dalam bab ini
juga Beliau menyinggung tentang apakah Maqashid Syariah itu ilmu berdiri
sendiri ataukah masih mengekor ke Ushul Fiqh?
Jawaban yang
pertama adalah datang dari Imam Ibnu Asyur dengan mengatakan bahwa ilmu
Maqashid ini berdiri sendiri dan lepas dari Ushul Fiqh. Pendapat ini di
kemukakan secara jelas dalam kitabnya Maqashidul Syariah Al-Islamiyyah.
Kemudian jawaban
yang kedua adalah tidak berpisah, pendapat ini dikemukakan oleh Syekh Bin Bayyah
(Ulama asal Mauritania ) di dalam kitabnya "'Alaqatul Maqashid Bi Ushul Fiqh" dengan berbagai permasalahan bersama antara Maqashid dan Ushul Fiqh.
Dalam Politik ( Teori dan Aplikasi ).
Salah satu yang paling penting dari kitab Beliau ini
dalam bab tiga yang membahas khusus tentang Kebutuhan Politik Islam terhadap
Maqashid Syariah.
Seiring dengan perkembangan zaman yang terus bergulir,
kebutuhan manusia akan Politik Islam sangatlah intens. Terbukti setelah adanya
Arab spring dikalangan kita (umat islam) sekarang. Banyak kalangan menyatakan ingin merubah
keadaan, ingin kebebasan, merubah sistem pemerintahan, dll. mereka menghalalkan
segala cara agar semua itu tercapai. Sementara
ada sebagian ulama yang memihak kepada pemerintahan yang bejat, dholim dan
memberi fatwa untuk memerangi pemberontak dengan argumen bahwa mereka
adalah Khowarij. ( dalam artian diperangi. Red ).
Dr. Raisuni berkata : "Sesungguhnya setiap orang yang
mengikuti Politik dan menjalankan politik islam maka seharusnya dia berpijak
dengan Maqashid Syariah sebagai Kriteria, Ukuran standar dalam setiap kebijakan
yang diambilnya".
Beliau juga menambahkan, apa yang telah terjadi saat ini merupakan buah dari pandangan saling
menyalahkan satu sama lain dengan membawa nama Islam dan Politik Islam. Sudah
semestinya untuk selalu mendapat perhatian Maqashidi dan Teori Maqashidi.
Dalam melihat konteks ini, Dr. Raisuni memberikan suatu
kejadian pada zaman Nabi Muhammad, yaitu tentang Perjanjian Hudaibiyah. Disini
adalah perjanjian perdamaian antara kaum Islam dan kaum kafir. Dan disini juga ada
sebagian para sahabat menggerutu mengenai pasal dari perjanjian tersebut.
Karena jika dilihat secara sekilas memang isi perjanjian ini merugikan umat islam.
Intisari dari perjanjian ini kita dapat mengetahui orang Madinah ke makkah
tidak diperkenankan ke Madinah, tapi jika orang Makkah ke Madinah maka masih
diperbolehkan ke Makkah. Tapi kalau dilihat secara jauh kedepan, justru ini
memberi kesempatan orang-orang munafik, musuh dari dalam islam untuk segera meninggalkan
Madinah . dan menjadikan Madinah kuat. Satu sisi juga, orang Mekkah yang ke Madinah diperbolehkan ke Mekkah lagi adalah untuk menjaga musuh baru di kota Madinah. Dan pada intinya akan jelas musuh-musuh islam itu sendiri. Akhirnya,
kaum islam setelah perjanjian ini mereka menang di dalam Fath Makkah.
Subhanalloh.
Dan terkadang kita harus mengalah secara kecil dengan
membawa kerugian sementara dan terbatasi. Karena kalau kita melihat secara jauh
dan efeknya kedepan justru malah mendapatkan keuntungan dan menenangkan. Dan
inilah intisari dari kaidah politik islam dan fiqh yang cerdik.
Rabat , 00:19 WIB
5 Desember 2014
Di tengah hujan gerimis malam.
*Mahasiswa S1 (tahun akhir) Universitas Mohammed V - Rabat. Spesialisasi Fiqh Ushul.
0 komentar:
Posting Komentar