Mari Ambil Bagian Masing-Masing

"Sesungguhnya syariat yang diberkahi ini terpelihara (Ma'shum) sebagaimana pembawanya (Muhammad) saw dan umatnya yang bersepakat (berijma') akan persoalan tertentu juga terpelihara"

RESENSI: Karya Prof. Dr. Ahmad Raisuni (I)

Prof. DR. Ahmad Raisuni merupakan salah satu pakar kajian Ilmu Maqashid Syari'ah yang menjadi salah satu rujukan ulama-ulama dunia saat ini. Karena kepakaran Beliau itu juga, Ia kemudian ditunjuk menjadi wakil Ketua Persatuan Ulama-Ulama Islam Dunia, mendampingi Syekh Prof. DR. Yusuf Qaradhawi yang berpusat di Qatar.

RESENSI: Karya Prof. Dr. Ahmad Raisuni (II)

Kitab ini termasuk kitab yang baru keluar dari percetakan Pusat Studi dan Riset Maqashid yang mana disini Dr. Raisuni sebagai Direktur dalam bidang keilmuan. Judul kitab ini termasuk judul yang sangat tinggi dalam bidangnya, yang mana seperti tertulis di kitabnya "Akhir Puncak Intelektual dan Pengaplikasian Maqashid Syariah".

Imam Syatibi

Sumber Foto: Google

Syekh Muhammad Thahir Bin Asyur

Sumber Foto: Google.

Senin, 03 Agustus 2015

Pesan dan Kesan Ramadhan Dalam Tinjauan Maqashid Syari'ah

PESAN DAN KESAN RAMADHAN
*Dalam Tinjauan Maqashid Syari'ah

Dalam perspektif teori Maqashid Syari'ah, disepakati bahwa Syariat (aturan – aturan hukum) Allah SWT yang dibebankan kepada manusia mengandung tujuan atau maqashid tertentu. Inti utama maqashid hukum tersebut (secara universal) adalah agar terciptanya kemaslahatan (kebaikan) hidup manusia di Dunia dan Akhirat.

Kemaslahatan manusia takkan tercapai kecuali dengan menjalankan aturan-aturan Allah SWT tersebut. Sedangkan tak mungkin seorang manusia bisa maksimal menjalankan aturan Tuhannya kecuali dengan melepaskan diri dari belenggu hawa nafsunya. Maka dalam hal ini aturan-aturan hukum Allah SWT (secara parsial) juga berfungsi untuk melepaskan manusia dari belenggu hawa nafsunya.

Hakikat manusia diciptakan adalah sebagai hamba yang tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah SWT secara sukarela, bukan hamba yang tunduk dan patuh kepada hawa nafsunya.
Hal ini tertuang dalam beberapa ayat-ayat suci Al-Qur'an yang berbunyi:
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
Artinya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku" (Qs. Az-Zariyat: 56)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Artinya: "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa" (Qs. Al-Baqarah: 21)

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗۖئًا...
Artinya: "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun" (Qs. An-Nisa: 36)

Manusia tidak boleh menyalahi maqashid penciptaan (penghambaan). Oleh karena itu, syariat melarang manusia menyalahi segala perintah dan larangan Allah SWT.

Allah Swt mencela manusia yang berpaling dari-Nya. Hal ini bisa kita saksikan dari berbagai sangsi yang diberikan jika manusia melanggar aturan-aturan-Nya, baik sangsi di Dunia maupun di Akhirat.
Allah SWT mengklaim manusia yang mengikuti bujuk rayu hawa nafsu dan syahwatnya, adalah mereka yang menyalahi maqashid penciptaan. Beberapa ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang  hal ini sebagai berikut:
يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلۡنَٰكَ خَلِيفَةٗ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ... 
Artinya: "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (Qs. Sad: 26)

فَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلۡهَوَىٰٓ أَن تَعۡدِلُواْۚ
Artinya: "Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran" (Qs. An-Nisa:135)

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣  إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ
Artinya: "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (Qs. An – Najm)

أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ...
Artinya: "Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya?" (Qs. Al Jatsiyah:23)

وَلَوِ ٱتَّبَعَ ٱلۡحَقُّ أَهۡوَآءَهُمۡ لَفَسَدَتِ ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِيهِنَّۚ بَلۡ أَتَيۡنَٰهُم بِذِكۡرِهِمۡ فَهُمۡ عَن ذِكۡرِهِم مُّعۡرِضُونَ 
Artinya: "Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu" (Qs. Al Mu'minun: 71)

...أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ طَبَعَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ وَٱتَّبَعُوٓاْ أَهۡوَآءَهُمۡ
Artinya: "Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka" (Qs. Muhammad: 16)

أَفَمَن كَانَ عَلَىٰ بَيِّنَةٖ مِّن رَّبِّهِۦ كَمَن زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ وَٱتَّبَعُوٓاْ أَهۡوَآءَهُم
Artinya: "Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang yang (shaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya" (Qs. Muhammad: 14)

Kata-kata" الهوى "  atau "Hawa Nafsu" pada ayat-ayat diatas semuanya berkonotasi negatif. Hawa nafsu merupakan sumber segala kerusakan alam semesta, ia dapat memperbudak manusia, dan penyebab tergelincirnya manusia dari jalan Allah SWT.

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu berkata: " Allah SWT tidak menyebut "hawa nafsu" (الهوى) di dalam Al-Qur'an, kecuali Ia mencelanya".  

Dengan demikian, manusia dihadapkan kepada dua pilihan, Syari'at Allah SWT (Wahyu) dan Hawa nafsu atau syahwat. Tunduk dan patuh kepada Allah SWT, atau tunduk dan patuh kepada hawa nafsunya. Tunduk dan patuh kepada Allah SWT itu yang diminta. Sedangkan, tunduk dan patuh kepada hawa nafsu itu yang dicela.

Hal ini, karena wahyu dan hawa nafsu adalah dua elemen yang kontradiktif. Jika wahyu adalah kebenaran dari Allah SWT, maka hawa nafsu adalah musuh dari kebenaran tersebut. Jika mengikuti wahyu adalah mengikuti jalan kebenaran, maka mengikuti hawa nafsu adalah mengikuti jalan kesesatan.

Allah SWT pencipta kita adalah zat yang Maha Tahu. Ia tahu apa yang kita butuhkan agar kebahagiaan dunia dan akhirat dapat kita raih. Ia tahu bahwa tanpa tuntunan-Nya kita takkan sampai kepada-Nya. Ia tahu, tanpa tuntunan-Nya manusia akan terlena oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syahwat.

Oleh karena itu, Ia buatkan aturan-aturan hidup bagi kita manusia. Aturan berupa perintah untuk dikerjakan. Aturan berupa larangan untuk ditinggalkan.

Aturan-aturan hidup tersebut, takkan pernah luput dari tujuan-tujuan diatas, yakni kemaslahatan kita di Dunia dan Akhirat, serta terbebas dari jebakan hawa nafsu.

Salah satu perintah Allah SWT yang baru saja kita laksanakan, ialah perintah berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan.

Perintah puasa merupakan salah satu media yang disediakan Allah SWT untuk melatih kita agar terlepas dari belenggu hawa nafsu. Dengan puasa kita dilatih untuk mengendalikan syahwat makan, minum, berhubungan suami istri, dan syahwat-syahwat lain yang dapat membatalkan puasa, mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.

Dengan lapar dan dahaga hawa nafsu akan mudah untuk dikendalikan. Sebaliknya, kenyang akan menyebabkan nafsu semakin menggelora.

Kata Nabi SAW:
" إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَجْرِى مِنِ ابْنِ آَدَمَ مَجْرَى الدَّمِ"
Artinya: "Sesungguhnya setan masuk (mengalir) ke dalam tubuh anak Adam mengikuti aliran darahnya"

وقيل:زاد بعض الرواة: فَضَيِّقُوْا مَجَاِريَهُ ِبالْجُوْعِ
Diriwayatkan bahwa sebagian para rawi menambahkan: "maka sempitkanlah jalan masuknya dengan lapar”.

Dalam kitab Ihya Uluumiddin, pada pembahasan tentang pengendalian syahwat perut dan syahwat seksual,  Imam Ghazali rahimahullah berbicara panjang lebar tentang manfaat berlapar-lapar dan bahaya kenyang.

Menurut Imam Ghazali penyebab terbesar celakanya manusia adalah hawa nafsu perut. Karena hawa nafsu inilah Nabi Adam alaihissalam dan ibunda hawwa dikeluarkan dari surga (negeri penuh kenikmatan) ke bumi (negeri penuh kesengsaraan).

Perut adalah sumber segala nafsu syahwat, sumber segala macam penyakit, sumber segala malapetaka.

Dari nafsu perut maka nafsu seksual semakin menggelora. Dari syahwat perut dan syahwat seksual muncullah kecintaan kepada kemegahan dan harta sebagai sarana pemuas kedua nafsu tersebut, lalu kecintaan kepada kemegahan dan harta menjadikan manusia saling sikut sana sini, saling dengki dan sebagainya.

Dari kedua nafsu tersebut, timbulnya sikap ria, bangga diri, dan sombong. Yang semuanya menyebabkan hati semakin busuk, penyebab permusuhan dan kemarahan. Lalu sifat-sifat tercela diatas menyebabkan manusia semakin durhaka kepada Allah SWT.

Realita ini telah dipraktikkan oleh beberapa"oknum" pejabat tinggi di Tanah Air kita tercinta saat ini. Lihat saja mereka tak pernah cukup dengan fasilitas mewah (halal) yang diberikan. Mereka malah semakin berlomba-lomba memenuhi nafsu perut dan syahwat berahi mereka. Memiliki "istri simpanan" dimana-mana, punya rumah-rumah mewah berserakan, kendaraan-kendaraan mentering tak terhitung, namun semua itu mereka dapati dari cara-cara yang tak halal, Merampok uang rakyak (korupsi), menindas yang lemah, dan perbuatan-perbuatan tak terpuji lainnya. Mereka tak ubahnya seperti binatang-binatang yang tak berakal, malah lebih hina dari binatang-binatang tersebut.

Dalam hadits yang lain, Nabi Muhammad SAW menyampaikan tentang kemampuan puasa dalam mengendalikan nafsu syahwat, ia bersabda:

يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ؛ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
Artinya :“Wahai para pemuda! Barangsiapa yang sudah memiliki kemampuan (untuk menikah), maka menikahlah. Karena hal itu lebih dapat menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu (menikah), maka hendaklah dia berpuasa karena hal itu menjadi benteng baginya”.  (Muttafaq Alaihi.)

Kata (الوجاء) dalam hadis diatas merupakan kalimat isim (kata benda) yang dalam kamus al-Munawwir diartikan penawar/penekan nafsu syahwat, kata dasar dari kalimat ini adalah   وَجَأَ- وَجْأً dalam kamus Lisanul Arab dijelaskan sebagai berikut:
الوَجْءُ اللَّكْزُ ووَجَأَه باليد والسِّكِّينِ
Wija’ artinya memukul atau memotong, memukul atau memotong dengan tangan atau dengan pisau.

Kata Wija’ ini dapat disimpulkan mengandung beberapa makna sebagai berikut:
a) Wija’ dapat diartikan secara sempit sebagai sebuah akibat dari seseorang yang melakukan puasa, yakni dapat menghentikan hawa nafsu.
b) Wija’ dapat diartikan secara luas sebagai sebuah manfaat yang disebabkan oleh seseorang melakukan puasa, seperti dapat mencegah dari perbuatan-perbuatan tercela, dapat menjadi pelipur lara seseorang yang ingin menikah, dan lain-lain.

Perlu diketahui, bahwa puasa hanya mengendalikan nafsu dan syahwat untuk sementara saja, bukan menghilangkan atau memusnahkannya. Sebab nafsu dan syahwat itu adalah bagian dari kelengkapan seorang manusia. Tanpa adanya nafsu dan syahwat, maka tidak bisa dikatakan manusia. Allah SWT telah berfirman tentang hal ini dalam salah satu ayat Al-Qur'an:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمَ‍َٔابِ
Artinya: "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada syahwat (apa-apa yang diingini), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)" (Qs. Ali Imran: 14).

Oleh karena nafsu syahwat merupakan sifat tabiat yang ada pada diri manusia, maka tak ada aturan-aturan Allah SWT yang memerintahkan untuk menghilangkannya. Karena jika ada aturan syariat yang memerintahkan untuk menghilangkan tabiat (nafsu syahwat) tersebut maka peraturan itu takkan pernah dapat dipikul (dijalankan), dan menurut diskursus ilmu Ushul Fiqh aturan yang tak dapat dipikul oleh manusia mustahil ada dalam syariat Allah SWT.

Aturan syariat hanya mengiginkan agar nafsu syahwat tersebut dikendalikan menuju kebaikan, disalurkan melalui media halal yang diridhai, bukan media haram yang dibenci.

Seperti syahwat makan dan minum misalnya, Allah SWT mensyari'atkan agar manusia memenuhinya dengan objek-objek yang halal lagi baik, dan tidak berlebih-lebihan.

Syahwat ingin menikah dan berkeluarga juga demikian, Allah SWT mensyariatkan agar manusia menyalurkan nafsu tersebut melalui proses pernikahan, bukan dengan berzina.     

Ramadhan bulan nan suci penuh ampunan baru saja undur diri meninggalkan kita, tahun depan ia pasti akan datang kembali. Namun, yang tak pasti adalah apakah kita akan berjumpa dengannya.

Ramadhan yang baru saja undur diri, meninggalkan pesan dan kesan berharga untuk kita demi menjalani lika-liku kehidupan dunia fana ini.

Ramadhan nan mulia tak sekedar bertamu tanpa maksud dan tujuan, ia datang untuk melatih kita mengendalikan hawa nafsu. Ia datang untuk membukakan pintu-pintu taubat bagi kita, membukakan pintu-pintu ampunan, membukakan pintu-pintu pahala yang berlipat ganda tak terkira.

Ramadhan nan berkah, mengajarkan kepada kita sifat empati kepada sesama, demi kehidupan penuh toleransi dan kedamaian.

Semoga pesan dan kesan Ramadhan ini selalu tertanam dalam diri pribadi kita masing-masing.
Semoga Allah SWT panjangkan umur kita untuk bertemu Ramadhan tahun depan Amiin yaa Rabbal 'Alamiin.

*Tulisan ini merupakan ringkasan materi khutbah Idul Fitri yang disampaikan penulis pada pagi Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1436 H/23 Agustus 2015, di Ruang Serbaguna KBRI - Rabat.

Jumat, 06 Februari 2015

Mari Ambil Bagian Masing-Masing

Bapak Maqashid Syariah, Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam karya masterpiecenya al - Muwafakat, pada pembahasan tentang maqashid As-syari' (tujuan Allah swt) dalam meletakkan syariah, berujar:

"Sesungguhnya syariat yang diberkahi ini terpelihara (Ma'shum) sebagaimana pembawanya (Muhammad) saw dan umatnya yang bersepakat (berijma') akan persoalan tertentu juga terpelihara"

Sebagai penguat akan statemen diatas, sang pakarpun mengemukakan dua bukti penting sebagai berikut:

Pertama: Bukti yang sudah jelas termaktub dalam Al-Qur'an. Sepertimana beberapa firman-Nya berikut:

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" (QS. Al Hijr: 9)

"(Inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi" (QS. Hud: 1)

"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya." (QS. Al-Hajj: 52)

Melalui serangkaian ayat-ayat diatas, Allah swt menginformasikan bahwa Ia akan memelihara dan mengokohkan ayat-ayat-Nya (Al-Qur'an), sehingga tidak akan termodefekasi oleh tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab.

Begitu juga dengan hadist-hadist Nabi saw, walaupun tidak disebutkan pada teks ayat-ayat diatas, tetapi ianya sudah termasuk bagian dari Al - Qur'an. Karena kedua-duanya saling menguatkan satu dengan yang lain. Seperti firman-Nya:

"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (QS. Al-Maidah: 3).

Abu Amru Ad-Dany dalam kitab "Tabaqat Al-Qurra" menceritakan dari Abi Al-Hasan Bin Muntab, ia berkata:

Suatu hari ketika saya berada bersama Al-Qady Abi Al-Ishaq Ismail Bin Ishaq, lalu seseorang bertanya kepadanya: Kenapa diperbolehkan terjadinya perubahan dalam Taurat sedangkan terhadap Al-Qur'an hal itu tidak terjadi? Lalu Al-Qady menjawab: Allah swt berfirman tentang ahli Taurat:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya…." (QS. Al-Maidah:44).

Oleh karena Allah swt telah mewakilkan pemeliharaan kitab Taurat kepada mereka, maka terjadinya perubahan tersebut sangat memungkinkan.

Sedangkan terhadap Al-Qur'an Allah swt berfirman:

"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" (QS. Al Hijr: 9).

Karena Allah swt sendirilah yang memelihara Al - Qur'an, maka terjadinya perubahan tersebut sangat tidak mungkin terjadi.

Begitu juga tentang kejadian-kejadian aneh ketika Nabi Muhammad saw diutus, dilarangnya para syaithan mencuri dengar pembicaraan para Malaikat tentang apa yang akan terjadi di bumi, tidak berdayanya para pakar bahasa Arab membuat satu ayat saja seperti layaknya Al-Qur'an. Semua ini merupakan bentuk pemeliharaan Allah swt terhadap keafsahan teks-teks Al-Qur'an. Pemeliharaan ini bersifat abadi sampai datangnya hari kiamat. Maka semua hal ini, merupakan bukti akan terpeliharanya syariah dari perubahan dan penggantian.


Kedua: Berupa realita yang kita temukan sejak zaman Nabi Muhammad saw hingga saat ini. Yaitu Allah telah menyediakan para penyeru ummat untuk memelihara dan membela syari'ah, baik secara universal maupun parsial.

Terhadap Al-Qur'an, Allah swt telah menentukan bagaimana Ia memeliharanya. Andaikan saja terjadi perubahan satu hurup saja dalam Al-Qur'an, maka Allah swt akan mengutus ribuan hafidz-hafidz cilik sebelum para hafidz-hafidz dewasa turun tangan.

Seperti inilah apa yang berlaku terhadap syariat secara universal. Allah swt telah menentukan para intelektual spesialis yang mumpuni dari setiap diskursus ilmu pengetahuan.

Sebagian dari mereka (kaum inteletual) tersebut ada yang pergi berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun untuk mempelajari bahasa Arab. Sehingga mereka menguasai bahasa syariah (Al Qur'an dan Hadist) itu dengan baik. Karena bahasa Arab merupkan pintu pertama dari beberapa pintu yang harus dilewati dalam memahami syariah, dan karena syariah diturunkan dalam keadaan berbahasa Arab.

Allah swt juga menyediakan para intelektual (ahli bahasa Arab) yang meneliti tentang perubahan kata dalam bahasa ini, seperti cara bertutur dan tata bahasanya. Sehingga dapat memudahkan bagaimana memahami teks-teks Al Qur'an dan Hadist.

Allah swt juga telah menyediakan para cendekiawan (muhadditsin) yang meneliti tentang keotentikkan Nash-nash hadist Nabi saw melalui para periwayat yang kuat hafalannya, adil dalam menyampaikan hadist-hadist tersebut. Sehingga mereka dapat membedakan mana yang valid (shahih)  dan mana yang Valid (Maudu').

Begitu juga dalam hal menerangkan antara mana yang Sunnah dan mana yang Bid'ah, Allah swt menjadikan beberapa dari hambanya para peneliti tentang tujuan-tujuan syariah yang tertuang dalam Al-Qur'an dan hadist, tentang apa yang telah dilakukan oleh para Salafusshalih, serta apa yang telah menjadi kebiasaan para Sahabat oleh Tabi'in. Mereka menolak para ahli Bid'ah dan para pemuja hawa nafsu. Sehingga nampak mana diantara mereka aktivis kenenaran dan mana dari mereka aktivis hawa nafsu.   

Allah swt juga telah mengutus dari hambanya para ahli qira'at yang mempelajari bacaan Al-Qur'an dengan cara bertatap muka langsung dengan para sahabat. Lalu kemudian mereka mengajarkan apa yang telah mereka dapat kepada para generasi selanjutnya. Demi menjaga persatuan ummat terhadap apa yang ditulis dalam mushaf-mushaf Al-Qur'an.

Allah swt juga telah menyediakan sekelompok manusia sebagai pembela agamanya, melawan kerancuan dengan nalar intelektualitasnya, memikirkan tentang kerajaan langit dan bumi; menggunakan kemampuan nalar, mengandalkan diri mereka sendiri dalam meneliti sebuah objek penelitian siang dan malam dengan penuh rasa senang dan bahagia. Sampai kemudian, mereka menemukan keunikan ciptaan Allah swt yang ada di langit dan di bumi. Merekalah kaum yang mengetahi tentang penciptaan lalu menunaikan hak-haknya dengan baik. Jika ada yang membantah tentang agama Islam, atau ada seseorang musuh yang mengkritisi apa yang ada didalamnya (agama islam), mereka akan melumarkannya dengan bukti yang tak terbantahkan. Maka mereka para tentara Islam dan para pemilahara Agama.

Allah swt juga telah mengutus dari mereka para cerdik pandai yang mampu memahami apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Lalu kemudian mereka mengeluarkan hukum-hukum dari apa yang telah mereka pahami dari tujuan-tujuan syariah dalam Al-Qur'an dan hadist-hadist tersebut, baik berdasarkan teks (syariah) yang tersurat maupun yang tersirat. Sehingga dengan hal itu, mereka mampu menganalisa hukum-hukum kontemporer yang belum ada dalil jelasnya dalam nash-nash syariah. Lalu dengan metode yang mereka gunakan ini, para generasi selanjutkan tidak akan menemukan kesulitan dalam berinteraksi dengan permasalahan-permasalahan kontemporer (yang memerlukan keterangan hukum) selanjutnya.

Beginilah fakta dan realita yang terjadi dilapangan, apapun spesialisasi ilmu pengetahuannya, selama ia masih berkaitan dengan cara memahami syariah. Allah swt akan selalu mengutus dan menyediakan para pakar disetiap spesialisasi tersebut. Agar syari'ah ini tetap terjaga dan terpelihara sampai datangnya hari kiamat kelak.  

 
Pelajaran yang dapat dipetik:
Dari apa yang telah dipaparkan oleh Imam Syatibi diatas, kita dapat mengambil sebuah nasehat (ibrah) yang sangat berharga sebagai suplemen penggerak langkah kita meneruskan perjuangan suci Baginda Nabi ini.

Nabi yang tidak mewariskan kepada kita (umatnya) Dinar atau Dirham, tapi Beliau mewariskan kepada kita dua pusaka suci berupa Al-Qur'an dan Hadist yang harus kita pegang selamanya agar selamat dalam mengarungi kehidupan dunia dan akhirat. 

Agar kedua pusaka suci itu terikat kuat dalam pegangan, tentunya kita harus mempelajari dan memahami isi kandungannya dengan baik dan benar, sesuai dengan maqashid pemiliknya. Tidak ada cara untuk memahami kandungan kedua kitab suci itu dengan baik kecuali dengan menguasai bahasa tutur yang digunakan dalam kedua pusaka suci itu. Yakni bahasa Arab. Dikarenakan bahasa Arab hanyalah pintu pertama dari beberapa pintu untuk membuka kandungan-kandung dua pusaka suci diatas, maka diperlukanlah disiplin-disiplin ilmu yang berkaitan erat dengannya (dua pusaka suci), seperti ilmu tafsir, ilmu hadist, fiqh; dan lain sebagainya.   

Jadi, bagi kita yang saat ini sedang mengembara jauh meninggalkan Tanah Air untuk menggali dan memahami bahasa Arab dan beragam disiplin ilmu syar'ah lainnya, sudah saatnya menyadari bahwa Allah swt telah mengamanahkan pemeliharaan syariah-Nya dipundak-pundak kita.

Kita yang saat ini telah datang dari penjuru Tanah Air menuju Negeri penutur bahasa Arab sudah saatnya bangun dari tidur panjang, dan tegak berdiri meluruskan niat. Mengambil bagian kita masing-masing. Agar kita termasuk jundi-jundi Islam yang memelihara agamanya dari rongrongan musuh yang selalu mengintai di seluruh sudut ruangan. Lengah sedikit saja kita akan mati menggelepar. Mengenaskan. Tertelan racun serangga dunia yang menggiurkan.

Ambil segera pena-pena yang berserakan tertimbun kasur empuk dan selimut tebal itu. Rapikan segera kertas-kertas yang berhamburan tergadaikan oleh media-media sosial yang takkan ada hujung penghabisannya itu.

Gunakan kecerdasan otak yang dianugerahkan Tuhan itu dengan sebaik-baiknya. Agar ia tak beku oleh salju. Usang ditelan kemarau. Jangan sampai ia terkubur dalam keadaan original tak pernah terpakai.

Kawan, bukankah diatas telah diujarkan bahwa Allah swt memelihara syariat ini dengan pena-pena dan kertas-kertas, dengan kekuatan-kekuatan daya ingat otak cerdas yang Ia anugerahkan kepada hamba-hamba yang terpilih. Ia tidak memelihara syariat ini dengan pedang, bukan juga dengan timah-timah panas yang dimuntahkan dari selongsong-selongsong peluru, apalagi dengan bom peledak massal.

Jadi, terakhir, dan sekali lagi. Mari ambil bagian kita masing-masing. Jadilah ahli-ahli bahasa Arab, Jadilah pakar-pakar Tafsir Hadist, jadilah montir-montir Fiqh Ushul. Agar kita termasuk dalam golongan ahli waris para nabi-nabi yang tak mewariskan dirham, dinar atau emas kepada setiap umatnya, tetapi yang mereka wariskan adalah sesuatu yang jauh lebih berharga dari semua itu, yaitu ilmu pengetahuan. Wallahu A'lam Bisshawab.

**Artikel ini merupakan terjemahan bebas dengan beberapa ringkasan, perubahan dan menyesuian teks dari kitab Al-Muwafaqat (berusaha) tanpa merubah intisari kandungan yang ada dalam kitab tersebut.

Jum'at, 29 Januari 2015. Pukul. 01:10 - dalam kebekuan malam Kota Merah.

Penerjemah: Herdiansyah Amran, Lc.
Mahasiswa S2 Universitas Qady Ayyad - Marrakech. Spesialisasi "Fikih Kontemporer Modern". Telah menyelesaikan S1 di Universitas Hassan II - Mohammedia, spesialisasi "Fikih Ushul" dengan judul skripsi "Peran Maqashid Syri'ah Dalam Ijtihad".