Mari Ambil Bagian Masing-Masing

"Sesungguhnya syariat yang diberkahi ini terpelihara (Ma'shum) sebagaimana pembawanya (Muhammad) saw dan umatnya yang bersepakat (berijma') akan persoalan tertentu juga terpelihara"

RESENSI: Karya Prof. Dr. Ahmad Raisuni (I)

Prof. DR. Ahmad Raisuni merupakan salah satu pakar kajian Ilmu Maqashid Syari'ah yang menjadi salah satu rujukan ulama-ulama dunia saat ini. Karena kepakaran Beliau itu juga, Ia kemudian ditunjuk menjadi wakil Ketua Persatuan Ulama-Ulama Islam Dunia, mendampingi Syekh Prof. DR. Yusuf Qaradhawi yang berpusat di Qatar.

RESENSI: Karya Prof. Dr. Ahmad Raisuni (II)

Kitab ini termasuk kitab yang baru keluar dari percetakan Pusat Studi dan Riset Maqashid yang mana disini Dr. Raisuni sebagai Direktur dalam bidang keilmuan. Judul kitab ini termasuk judul yang sangat tinggi dalam bidangnya, yang mana seperti tertulis di kitabnya "Akhir Puncak Intelektual dan Pengaplikasian Maqashid Syariah".

Imam Syatibi

Sumber Foto: Google

Syekh Muhammad Thahir Bin Asyur

Sumber Foto: Google.

Jumat, 01 Januari 2016

Al Muwafaqat: Karya Masterpiece Imam Syatibi

AL MUWAFAQAT
Karya Masterpiece Imam Syatibi (W: 790 H/1388 M)
(Kajian Historis, dan Kandungan Isi Kitab Secara Garis Besar)
Oleh: Herdiansyah Amran, Lc.*

Bagi mereka yang berkecimpung dalam kajian Syariat Islam, terkhusus fan Maqashid Syariah, tentu tidak asing lagi dengan sebuah adikarya sang bintang Andalusia, Imam Abu Ishaq Asy Syatiby yang berjudul "Al – Muwafaqat".

Bagaimana tidak, karena Al Muwafaqat saat ini merupakan salah satu referensi paling primer bagi mereka yang ingin menyelami lebih dalam kajian tentang Maqashid syari'ah.

Hal ini, tentu disebabkan karena ia merupakan kitab pertama yang membahas kajian tentang Maqashid Syari'ah pada sub kajian khusus secara mendetail. Yang belum pernah ada pada karya – karya  pendahulunya.

Disebabkan betapa urgennya kitab yang satu ini, tentu kajian terhadapnya juga tidak kalah urgen. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibahas kajian tetang seluk-beluk Al Muwafaqat, yaitu mengenai sejarah dan kandungan isinya secara garis besar.

Judul Kitab
Sudah lumrah di kalangan ulama terdahulu, dalam setiap kata pengantar sebuah karya mereka, selalu disebutkan judul kitab yang ditulis beserta alasan kenapa judul itu dipilih.

Begitu pula yang dilakukan oleh Imam Syatibi. Ia menyebutkan dalam kata pengantarnya bahwa judul awal yang ia pilih untuk karya tulisnya yang satu ini ialah "'Unwan At Ta'rif Fi Asrari At Taklif".[1]

Namun kemudian, judul ini ia ganti menjadi Al Muwafaqat. Disebabkan seorang guru yang sangat ia hormati bercerita kepadanya tentang sebuah mimpi yang menimpa sang guru.

Sang guru itu bercerita bahwa di suatu malam, ia bermimpi bertemu Imam Syatibi sedang memegang kitab yang ia tulis. Lalu sang guru bertanya tentang kitab tersebut. Imam Syatibi pun menjawab bahwa kitab yang ada di tangannya itu ialah Al Muwafaqat. Lebih lanjut sang guru pun kembali bertanya arti nama yang indah itu. Imam Syatibi menjawab bahwa nama itu dipilih karena ia ingin mempertemukan kesepahaman (Toleransi) antar dua Madzhab yang sama-sama memiliki banyak pengikut fanatik di Andalusia saat itu, yaitu Madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah.

Setelah mendegar cerita sang guru, dan menyadari adanya kesamaan mengenai apa yang ia tulis dengan mimpi sang guru tersebut. Imam Syatibi pun kemudian memilih Al Muwafaqat untuk nama kitabnya ini.

Kemudian, sebagian ulama kontemporer yang melakukan editisasi menambahkan sisipan nama pada kitab Al Muwafaqat. Hal ini sepertimana terlihat pada cetakkan yang diedit oleh Syekh Abdullah Diraz dengan judul Al Muwafaqat Fi Ushul Asy Syariah.

Sedangkan pada cetakkan yang diedit oleh Syekh Muhyiddin Abdul Hamid, berjudul Al Muwafaqat Fi Ushul Ahkam. Begitu pula pada cetakkan yang dirilis berdasarkan bimbingan Prof. Muhammad Al Khadr At Tunisi dan Syekh Husnin Makhluf.

Respon Para Ulama Tentang Al Muwafaqat
Kitab Al Muwafaqat pada awalnya dan beberapa abad kemudian, tidak mendapat respon berarti dari para ulama. Ia seolah-olah tenggelam ditelan bumi, menguap diantara hiruk-pikuk peradaban islam yang mulai melemah  mengiringi runtuhnya peradaban islam di Andalusia.

Respon luar biasa terhadap Al Muwafaqat baru terjadi beberapa abad kemudian. Yang dimulai dipenghujung abad ke – 19 M.

Respon tersebut, baik berupa karya seputar Al Muwafaqat (Ringkasan, Nazham (Syair), Tahqiq, dll), maupun komentar positif terhadap kitab dan isi kandungannya.

Beberapa karya yang dirilis seputar Al Muwafaqat antara lain:

1.    Ringkasan (Kitab atau Ulama Yang Meringkas):
-       Al Muna Fi Ikhtishary Al Muwafaqat,[2] oleh Abu Bakar Bin Ashim.[3]
-    Syekh Muhammad Yahya Bin Umar Al Mukhtar Bin At Thalib Abdullah Al Walaty Asy Syinqity (w: 1330 H/1912 M).
-       Syekh Ibrahim Bin Thahir Bin Ahmad Bin As'ad Al 'Azham (w: 1377 H/1957 M).[4]
-       Taisir Al Muwafaqat Li Al Imam Asy Syatibi, Oleh DR. Nu'man Jughaim.[5]
-       Tahzib Al Muwafaqat, oleh Muhammad Bin Husen Al Jaizany.[6]
2.    Nazham (Syair):
-   Nail Al Muna Min Al Muwafaqat.[7]
- Muwafaq Al Muwafaqat, oleh Musthafa Bin Muhammad Fadhil Bin Muhammad Ma'main Asy Syinqity Al Qalqamy (w: 1328 H/1910 M).
3.    Tahqiq (Ulama Pentahqiq):
- Syekh Abdullah Diraz
- Syekh Muhammad Muhyiddin Bin Abdul Hamid.
- Syekh Masyhur Bin Hasan Ali Salman.
4.    Karya tersendiri yang tetap merujuk kepada Al Muwafaqat:
-     Maqashid Asy Syariah Al Islamiyyah, karya Syekh Thaha Bin Asyur At Tunisi (1879 M/1296 H – 1973 M/1393 H).
-  Maqashid Asy Syariah Al Islamiyyah Wa Makarimuha, karya syekh 'Alal Al Fasi (1910 -  1974 M).
-     Asy Syatibi Wa Maqashid Asy Syariah, karya Hammady Al 'Ubaidy.[8]
-      Nazhriyyah Al Maqashid 'Inda Al Imam Asy Syatibi, karya DR. Ahmad Raisuni.
-  Dan lain-lain.
Sedangkan pujian atau komentar positif terhadap Kitab Al Muwafaqat sangat beragam, berikut beberapa diantaranya:

-       Imam Marzuq berkomentar: "kitab Muwafaqat merupakan salah satu kitab yang paling diterima".
-       Syekh Thaha Bin 'Asyur berpendapat bahwa "Imam Syatibi merupakan yang pertama mencantumkan fan Ilmu Maqashid pada satu pembahasan khusus di dalam sebuah karya tulis ilmiah".
-   Syekh Ali Hasbullah: "Imam Syatibi datang bersama kitabnya Al Muwafaqat yang belum pernah ada karya seperti itu sebelumnya".

Pencetakan Al Muwafaqat:
Kitab Al Muwafaqat mengalami beberapa kali pencetakan, yaitu sebagai berikut:
1.   Dicetak untuk pertama kali di Tunis pada tahun 1302 H/1884 M, oleh percetakan Negara. Dengan ditashih oleh tiga ulama Universitas Az Zaitunah kala itu, mereka ialah Syekh Ali Asy Syanufy, Syekh Ahmad Al Wartany, dan Syekh Shaleh Qaizy. Setebal 4 Juz.
kemudian setelah dicetak, syekh Musthafa Bin Muhammad Fadhil Bin Muhammad Ma'main As Syinqity Al Qalqamy (w: 1328 H/1910 M), yang lebih dikenal dengan nama Maau Al 'Ainain menyusun nazhamnya.  Karya ini ia beri judul "Muwafaq Al Muwafaqat". Kemudian disyarah olehnya sendiri dengan judul "Al Murafiq 'Ala Al Muwafiq". Syarah ini dicetak oleh percetakan Ahmad Yumna di kota Fes tahun 1324 H. atas infaq dari seorang panglima tersohor (kala itu) bernama Said Idris Bin 'Aisy. Setebal Satu jilid.
2.    Pencetakan juz pertama sebanyak 189 halaman di kota  Qazan (ibu kota Negara At Tatar, Rusia tahun  1327 H/1909 M.
3.    Dicetak di Mesir sebanyak 3 kali cetak, tahun 1341 H/1922 M. oleh percetakan As Salafiyyah, atas infaq Abdul Hadi Bin Muhammad Munir Ad Dimasyqy,  beserta Ta'liq Syekh Muhammad Al Khadr Husen pada juz 1 dan 2, ta'liq Syekh Muhammad Husnin Makhluf juz 3 dan 4.
kemudian dengan tahqiq Syekh Abdullah Diraz disertai kata pengantar dan analisa mendalam dari Baliau. Didistribusikan oleh percetakan At Tijariah Al Kubra - mesir.
Selanjutnya dengan tahqiq syekh Muhammad Muhyiddin Bin Abdul Hamid, melalui percetakan Muhammad Ali Shabih.

Isi Kandungan Kitab Al Muwafaqat Secara Garis Besar:
Untuk membicarakan kandungan isi Kitab Al Muwafaqat, penulis ingin membaginya kedalam 2 kategori, yaitu kategori umum dan Khusus. Kategori umum berisi pembahasan isi kitab secara menyeluruh. Sedangkan kategori khusus berisi pembahasan tentang Maqashid Asy Asyariah yang terdapat dalam kitab.
Kategori Umum:
Secara umum, kitab Al Muwafaqat berisi 5 kajian inti, yaitu sebagai berikut:[9]
Ø Bagian I:
Berisi pendahuluan yang terkandung didalamnya sebanyak 13 muqaddimah. Ketiga belas muqaddimah merupakan panduan (ilmiah) penting sebelum menyelami isi kitab secara keseluruhan.
Ø Bagian II:
Berisi kajian tentang hukum-hukum syariat, baik yang bersifat Taklify yaitu: Wajib, Sunnah, Haram; Makruh, dan Mubah. Maupun yang bersifat Wad'i yaitu: Sebab, Syarat, Mani'; Shahih dan Fasid, Azimah dan Rukhsoh.
Ø Bagian III:
Berisi kajian tentang Maqashid Syariah dan segala yang berhubungan dengannya dari hukum-hukum syariah.
Ø Bagian VI:
Membahas tentang dalil-dalil sumber pengambilan hukum. Yang mencakupi pembahasan terhadap kitab dan sunnah beserta pembahasan yang berkaitan dengan keduanya, seperti pembahasan Khas (khusus) dan 'Aam (Umum), Muthlaq dan Muqayyad, Nasakh Mansukh, dan lain sebagainya.
Ø  Bagaian V:
berisi kajian tentang Ijtihad dan Taqlid. Termasuk didalamnya tentang permasalan Ta'arud dan Tarjih, Mufti dan Mustafti.
Jika kita perhatikan secara menyeluruh dari pembagian diatas, dapat disimpulkan bahwa kitab Al Muwafaqat berisi pembahasan inti yang selalu dikaji dalam kajian Ushul Fiqh.

Hanya saja Imam Syatibi selalu menyertakan ruh Maqashid dalam setiap pembahasannya. Dimulai dari muqaddimah hingga akhir kitabnya tentang ijtihad.

Kategori Khusus:
Jika diatas merupakan cakupan isi kandungan Al Muwafaqat secara umum, maka dalam pembahasan ini akan diulas secara khusus tentang bagian ke tiga yang terdapat dalam Al Muwafakat, yaitu tentang Maqashid Syariah.

Pembahasan Maqashid Syariah dalam Al Muwafaqat dapat dibagi ke dalam 4 bagian:
Pertama, Muqaddimah yang membahas ringkas tentang Illah dan Hikmah hukum syariah.

Kedua, Maqasid Syari' yang berisi pembahasan mengenai tujuan Allah Swt menurunkan undang-undang berupa hukum-hukum syariat kepada hambanya (Manusia) di Dunia.

Ketiga, Maqasid Mukallaf, yang mengkaji tentang niat (tujuan) manusia disegala aktivitas yang ia kerjakan dalam kehidupannya di dunia ini.

Keempat, penutup yang berisi kajian khusus tentang bagaimana cara mengetahui Maqashid Syari'.

Diawal pembahasan tentang Maqashid Syariah dalam kitabnya Al Muwafaqat, Imam Syatibi membagi Maqashid (berdasarkan sumber asalnya) kepada dua macam. Yaitu Maqashid syari' (Allah Swt) dan Maqashid Mukallaf (manusia sebagai hamba).

Maqashid Syari' terbagi empat macam, yaitu:
-    Maqashid Syari' dalam meletakkan syariat untuk permulaan (tujuan utama syariat diturunkan).
-   Maqashid Syari' dalam meletakkan syariat untuk dipahami. (adanya syariat agar dipahami).
-   Maqashid Syari' mengenai tatacara manusia masuk kedalam koridor syariat dan bagaimana mengamalkan syariat tersebut.
-        Maqashid Syari' jika manusia sudah berada dalam koridor syariat.

Sebelum menerangkan secara rinci empat macam Maqashid Syari' inilah Imam Syatibi memberikan pendahuluan tentang apakah hukum-hukum syariat itu mengandung illah atau hikmah. Pendahuluan ini sangat penting dalam pembahasan Maqashid selanjutnya.

Karena jika hukum-hukum syariat tanpa illah atau hikmah, maka pembahasan tentang Maqashid syariah takkan pernah hadir. Karena inti kajian Maqashid adalah tentang Illah atau hikmah (tujuan) diturunkannya hukum-hukum tersebut.

Dalam hal ini, para ulama terbagi ke dalam dua kelompok, kelompok pertama berpendapat, bahwa hukum syariat tidak mengandung illah atau hikmah sama sekali. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Arrazi.

Sedangkan kelompok kedua berpendapat, bahwa hukum – hukum syariat mengandung hikmah, yakni memelihara kemaslahatan umat manusia di dunia dan di akhirat. pendapat ini dipelopori oleh kaum Mu'tazilah, yang kemudian disepakati para ulama fiqh komtemporer, termasuk Imam Syatibi.

Setelah meyakinkan bahwa hukum-hukum syariat mengandung hikmah. Maka kemudian Imam syatibi mulai merinci pembahasan Maqashid Syari' sebagai berikut:

1.  Maqashid Syari' dalam meletakkan syariat untuk permulaan (tujuan utama syariat diturunkan).
Dalam pembahasan pertama tentang maqashid syari' ini, Imam Syatibi membaginya kepada 13 masalah (sub bahasan).

Inti pembahasan dari ketiga belas 13 masalah ini adalah bahwa tujuan diberlakukannya syariat ialah demi keberlangsungan kehidupan di alam raya berserta isinya. Yang kemudian bisa dirinci ke dalam 3 bagian:
  1. Tingkatan Maqashid berdasarkan kemaslahatan, beserta hubungan tingkatan satu dengan yang lain. (Macam Maqashid syariah berdasarkan kemaslahatan terbagi tiga, yaitu Daruriyyat (primer), Hajiyyat (sekunder), Tahsiniyyat (tersier); Hubungan ketiganya saling melengkapi satu dengan yang lain; Syarat-syarat menjadi pelengkap; Daruriyyat sumber asal Hajiyyat dan Tahsiniyyat)
  2. Tinjauan Mashalih (kemaslahatan) dan Mafasid (kerusakan) dalam syariat. (kemaslahatan dan kerusakan berdasarkan persepektif syariat dan realita di lapangan; Persepektif Dunia; persepektif Akhirat; Syariat bertujuan membangun kemaslahatan dunia dan akhirat; kemaslahatan yang dipertahankan syariat dan kerusakan yang dicegah syariat; kemaslahatan dunia sebagai pijakan kemaslahatan akhirat; bukti-bukti bahwa syariat bertujuan menjaga kemaslahatan Daruriyyat, Hajiyyat, dan Tahsiniyyat; Kemaslahatan Daruriyyat, Hajiyyat, dan Tahsiniyyat bersifat universal, tidak dapat dibantah oleh permasalahan yang bersipat parsial).
  3. Syariat terjaga sepanjang masa.
2.  Maqashid Syari' dalam meletakkan syariat untuk dipahami.
Pembahasan bagian kedua ini terbagi kedalam 5 masalah. Inti pembahasannya ialah bahwa syariat ini diturunkan dalam bahasa Arab, dan bersifat ummi. Yang kemudian bisa dirinci menjadi 4 bagian:
  1. Al Qur'an berbahasa Arab seluruhnya, tidak ada campuran bahasa 'Ajam (Asing) di dalamnya.
  2. Penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an ke dalam bahasa asing.
  3. Syariat bersifat ummi, karena diturunkan kepada Nabi dan penduduk yang mayoritas ummi. (Artinya syariat turun dengan kemudahan untuk dipahami).
  4. Cara menggali hukum syariat berdasarkan Nash-nash syariat, (apakah melalui pemahaman tersurat atau tersirat, atau kedua-duanya).
3.  Maqashid Syari' mengenai tatacara manusia masuk kedalam koridor syariat dan bagaimana mengamalkan syariat tersebut.
Pembahasan bagian ini terbagi kedalam 12 masalah. Dengan inti kajiannya bahwa hukum syariat dibebankan kepada mereka yang mampu melaksanakannya. Yang kemudian dapat dirinci kedalam 3 bagian:
  1. Qudrah (Kemampuan) seorang hamba adalah syarat diberlakukannya bembebanan hukum kepadanya.
  2. Masyaqqah (Kesusahan) dalam pelaksanaan hukum syariat. (Pengertian Masyaqqah; Masyaqqah yang dianggap dan tidak dianggap oleh syariat; Masyaqqah melawan hawa nafsu; Tingkatan Masyaqqah berbeda-beda).
  3. Wasathiyyah (tidak berlebih-lebihan) dalam syariat islam.
4.  Maqashid Syari' jika manusia sudah  berada dalam koridor syariat.
Pembahasan bagian terakhir dari Maqashid Syari' ini terbagi kedalam 20 masalah. Inti pembahasannya adalah bahwa tujuan syariat diturunkan ialah untuk mengeluarkan manusia dari kongkongan hawa nafsunya, sehinggga ia ikhlas dalam menjalankan titah Tuhannya. Tanpa merasa terpaksa. Rincian pembahsan ini bisa dibagi kedalam 9 bagian:
  1. Maqashid berdasarkan orientasinya terbagi terbagi dua, Ashli (utama/pokok), dan Tabi'ah (turunan/rincian).
  2. Daruriyyat terbagi dua; pertama: Manusia mendapatkan kemaslahatannya secara langsung; Kedua: Manusia tidak mendapat kemaslahatannya secara langsung.
  3. Kewajiban dalam ibadah setiap orang tidak boleh digantikan oleh orang lain. Sedangkan dalam hal mu'amalah boleh ada pengganti.
  4. Pelaksanaan syariat bersifat Dawam (kontinuitas).
  5. Syariat bersifat universal bagi setiap Mukallaf, tidak dikhususkan kepada pihak atau golongan tertentu. Semuanya sama dimata syariat.
  6. Segala kelebihan yang diberikan Allah Swt kepada Rasululllah Saw, juga diberikan sebagiannya kepada umatnya (karena sifat syariat yang universal itu tadi).
  7. Prasyarat diterimanya Karamah para wali adalah bahwa karamah itu harus selalu dalam koridor syariat islam.
  8. Adat istiadat (kebiasaan) dalam tinjauan syariat dan hukum adat.
  9. Besarnya Ketaatan dan kemaksiatan berdasarkan kemaslahatan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut.
Setelah selesai pembahasan mengenai Maqashid Syari', Imam Syatibi melanjutkan pembahasannya mengenai Maqashid Mukallaf yang ia bagi kedalam 12 masalah.

Inti pembahasan mengenai Maqashid Mukallaf adalah bahwa setiap tindakan yang dilakukan manusia sebagai seorang hamba, harus sesuai dengan Maqashid Syari'.

Rincian kajian ini dapat dibagi kedalam 6 bagian:
  1. Hukum perbuatan manusia didasarkan kepada niatnya.
  2. Segala niat (perbuatan) yang menyalahi Maqashid Tuhan, maka perbuatan itu dianggap tidak sah (batal).
  3. Macam –macam tindakan berdasarkan selaras atau tidak selaras dengan Maqashid Tuhan.
  4. Macam – macam tindakan berdasarkan kemaslahatan dan kerusakan yang ditimbulkan.
  5. Hukum menggugurkan hak Allah Swt dan hak hamba.
  6. Tipu muslihat dalam beribadah.
Pentupan
Pembahasan terakhir tentang Maqashid Syariah dalam Al Muwafaqat ialah tentang bagaimana cara mengetahui Maqashid Syari'.

Dalam hal ini, Imam Syatibi mengajukan beberapa metode agar dapat mengetahui  Maqashid Syari', yaitu sebagai berikut:
a) Berdasarkan Amar (perintah) dan Nahi (larangan) yang terdapat secara jelas dalam nash-nash Al Qur'an dan Hadist.
b) Berdasarkan Illah Amar dan Nahi, yaitu untuk apa diperintahkan, dan untuk apa dilarang.
c)  Dengan mengetahui Maqashid Ashli dan Thabi'i yang tersurat secara jelas pada nash.



Referensi:
-       Nazhriyyah Al Maqashid 'Inda Al Imam Asy Syatibi, DR. Ahmad Raisuni, Dar Al Amn-Rabat, Cet: 3, Thn: 1430 H/2009 M.
-       Al Muawafaqat, editor syekh Abdullah Diraj, Dar Al Hadist – Cairo 2006.
-       Al Muawafaqat, editor Abu 'Ubaidah Masyhur Bin Hasan Ali Salman, Dar Ibn Affan – Saudi Arabia, Cet. Ke-1, Thn 1417 H/1997 M.
-       Maqashid Asy Syariah Al Islamiyyah Wa Makarimuha, 'Alal Al Fasi, editor: DR. Ismail Hasani, Dar As Salam – Mesir, Cet:1, Thn: 1432 H/2011 M.
-       Muhadharat Fi Al Maqashid Asy Syariah, DR. Ahmad Raisuni, Dar As Salam – Mesir, Cet: 1, Thn: 1430 H/2009 M.
-       Taisir Al Muwafaqat Li Al Imam As Syatibi, DR. Nu'man Jughaim, Ibn Hazm-Lebanon, Cet:1, Thn: 2009.
-       Tahdzib Al Muwafaqat, Muhammad Bin Husen Al Jaizany, Dar Ibn Al Jauzy - Sausi Arabia, 1421 H/2000 M.

*Mahasiswa S2 Universitas Qady Ayyad - Marrakech, spesialisasi "Fikih Kontemporer Modern". Telah menyelesaikan S1 di Universitas Hassan II - Mohammedia, spesialisasi "Fikih Ushul" dengan judul skripsi "Peran Maqashid Syri'ah Dalam Ijtihad".



[1].Seperti inilah judul yang disebutkan oleh DR. Ahmad Raisuni dalam kitabnya Nazhriyah Al-Maqasid 'Inda Al-Imam Asy- Syatibi, Muhammad Bin Husen Al Jaizany dalam Tahdzib Al Muwafaqat. Namun Syekh Abdullah Diraz dalam kata pengantar menyebutkan dengan judul: "At Ta'rif Bi Asrari At Ta'rif". Sedangkan Syekh Masyhur Bin Hasan Ali Salman menyebutkan dengan judul "'Unwan At Ta'rif Fi Asrari At Taklif Al Muta'alliqah Bi Asy Syaria'h Al Hanifah"
[2]. Kitab ini belum pernah dicetak.
[3] . Beliau merupakan salah satu murid Imam Syatibi yang meninggal pada tahun 829 H.
[4] . Dicetak dan dikaji ulang oleh Baba Muhammad Abdillah (Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Malik Sa'ud –Riyad) sebanyak 2 jilid.
[5]. Dicetak oleh percetakan Ibn Hazm lebanon, cet: pertam, tahun: 2009. Setebal 723 halaman. Disertai kata pengantar.
[6]. Dicetak oleh Dar Ibn Al Jauzy, Saudi Arabia 1421 H/2000 M. Setebal 408 halaman. Disertai kata pengantar, Biografi singkat Imam Syatibi, dan Bibliografi tentang Al Muwafaqat.
[7]. kitab ini berbentuk Nazham (Al Muwafaqat) yang selesai disusun pada akhir Bulan Rabi'u Stani tahun 820 H. Oleh salah satu murid Imam Syatibi yang lain. Namun para peneliti tidak menyebutkan siapa nama sang penyusun nazham ini. Sedangkan sebagian peneliti ada yang menisbahkannya kepada Syekh Abu Bakar Bin Ashim. Berdasarkan informasi dari Prof. Abu Al Ajfan dalam kitabnya Fatawa Asy Syatibi ia mengatakan bahwa kitab ini masih terdapat di perpustakaan Der Al Askarial di Spanyol dengan tulisan tangan bernomor: 1164. Dan merupakan kitab berbahasa Arab yang paling Populer di perpustakaan kerajaan Spanyol. Kitab inipun belum pernah dicetak.    
[8].  Dicetak oleh Dar Qutaibah, tahun 1412 H/1992 M.
[9] . Berdasarkan cetakan Dar Al Hadist – Cairo. Kitab Al Muwafaqat dibagi kedalam 2 Jilid, 4 juz, dan 5 bagian. Pada jilid pertama terdapat juz 1 yang berisi bagian 1 dan 2, dan juz 2 berisi bagian 3. Selanjutnya pada jilid Kedua terdapat juz 3 berisi bagian 4, dan juz 4 berisi bagian 4 dan 5.

Senin, 03 Agustus 2015

Pesan dan Kesan Ramadhan Dalam Tinjauan Maqashid Syari'ah

PESAN DAN KESAN RAMADHAN
*Dalam Tinjauan Maqashid Syari'ah

Dalam perspektif teori Maqashid Syari'ah, disepakati bahwa Syariat (aturan – aturan hukum) Allah SWT yang dibebankan kepada manusia mengandung tujuan atau maqashid tertentu. Inti utama maqashid hukum tersebut (secara universal) adalah agar terciptanya kemaslahatan (kebaikan) hidup manusia di Dunia dan Akhirat.

Kemaslahatan manusia takkan tercapai kecuali dengan menjalankan aturan-aturan Allah SWT tersebut. Sedangkan tak mungkin seorang manusia bisa maksimal menjalankan aturan Tuhannya kecuali dengan melepaskan diri dari belenggu hawa nafsunya. Maka dalam hal ini aturan-aturan hukum Allah SWT (secara parsial) juga berfungsi untuk melepaskan manusia dari belenggu hawa nafsunya.

Hakikat manusia diciptakan adalah sebagai hamba yang tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah SWT secara sukarela, bukan hamba yang tunduk dan patuh kepada hawa nafsunya.
Hal ini tertuang dalam beberapa ayat-ayat suci Al-Qur'an yang berbunyi:
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
Artinya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku" (Qs. Az-Zariyat: 56)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Artinya: "Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa" (Qs. Al-Baqarah: 21)

وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗۖئًا...
Artinya: "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun" (Qs. An-Nisa: 36)

Manusia tidak boleh menyalahi maqashid penciptaan (penghambaan). Oleh karena itu, syariat melarang manusia menyalahi segala perintah dan larangan Allah SWT.

Allah Swt mencela manusia yang berpaling dari-Nya. Hal ini bisa kita saksikan dari berbagai sangsi yang diberikan jika manusia melanggar aturan-aturan-Nya, baik sangsi di Dunia maupun di Akhirat.
Allah SWT mengklaim manusia yang mengikuti bujuk rayu hawa nafsu dan syahwatnya, adalah mereka yang menyalahi maqashid penciptaan. Beberapa ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang  hal ini sebagai berikut:
يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلۡنَٰكَ خَلِيفَةٗ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ... 
Artinya: "Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (Qs. Sad: 26)

فَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلۡهَوَىٰٓ أَن تَعۡدِلُواْۚ
Artinya: "Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran" (Qs. An-Nisa:135)

وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣  إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ
Artinya: "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (Qs. An – Najm)

أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ...
Artinya: "Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya?" (Qs. Al Jatsiyah:23)

وَلَوِ ٱتَّبَعَ ٱلۡحَقُّ أَهۡوَآءَهُمۡ لَفَسَدَتِ ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِيهِنَّۚ بَلۡ أَتَيۡنَٰهُم بِذِكۡرِهِمۡ فَهُمۡ عَن ذِكۡرِهِم مُّعۡرِضُونَ 
Artinya: "Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu" (Qs. Al Mu'minun: 71)

...أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ طَبَعَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ وَٱتَّبَعُوٓاْ أَهۡوَآءَهُمۡ
Artinya: "Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka" (Qs. Muhammad: 16)

أَفَمَن كَانَ عَلَىٰ بَيِّنَةٖ مِّن رَّبِّهِۦ كَمَن زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ وَٱتَّبَعُوٓاْ أَهۡوَآءَهُم
Artinya: "Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya sama dengan orang yang (shaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya" (Qs. Muhammad: 14)

Kata-kata" الهوى "  atau "Hawa Nafsu" pada ayat-ayat diatas semuanya berkonotasi negatif. Hawa nafsu merupakan sumber segala kerusakan alam semesta, ia dapat memperbudak manusia, dan penyebab tergelincirnya manusia dari jalan Allah SWT.

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu berkata: " Allah SWT tidak menyebut "hawa nafsu" (الهوى) di dalam Al-Qur'an, kecuali Ia mencelanya".  

Dengan demikian, manusia dihadapkan kepada dua pilihan, Syari'at Allah SWT (Wahyu) dan Hawa nafsu atau syahwat. Tunduk dan patuh kepada Allah SWT, atau tunduk dan patuh kepada hawa nafsunya. Tunduk dan patuh kepada Allah SWT itu yang diminta. Sedangkan, tunduk dan patuh kepada hawa nafsu itu yang dicela.

Hal ini, karena wahyu dan hawa nafsu adalah dua elemen yang kontradiktif. Jika wahyu adalah kebenaran dari Allah SWT, maka hawa nafsu adalah musuh dari kebenaran tersebut. Jika mengikuti wahyu adalah mengikuti jalan kebenaran, maka mengikuti hawa nafsu adalah mengikuti jalan kesesatan.

Allah SWT pencipta kita adalah zat yang Maha Tahu. Ia tahu apa yang kita butuhkan agar kebahagiaan dunia dan akhirat dapat kita raih. Ia tahu bahwa tanpa tuntunan-Nya kita takkan sampai kepada-Nya. Ia tahu, tanpa tuntunan-Nya manusia akan terlena oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syahwat.

Oleh karena itu, Ia buatkan aturan-aturan hidup bagi kita manusia. Aturan berupa perintah untuk dikerjakan. Aturan berupa larangan untuk ditinggalkan.

Aturan-aturan hidup tersebut, takkan pernah luput dari tujuan-tujuan diatas, yakni kemaslahatan kita di Dunia dan Akhirat, serta terbebas dari jebakan hawa nafsu.

Salah satu perintah Allah SWT yang baru saja kita laksanakan, ialah perintah berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan.

Perintah puasa merupakan salah satu media yang disediakan Allah SWT untuk melatih kita agar terlepas dari belenggu hawa nafsu. Dengan puasa kita dilatih untuk mengendalikan syahwat makan, minum, berhubungan suami istri, dan syahwat-syahwat lain yang dapat membatalkan puasa, mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.

Dengan lapar dan dahaga hawa nafsu akan mudah untuk dikendalikan. Sebaliknya, kenyang akan menyebabkan nafsu semakin menggelora.

Kata Nabi SAW:
" إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَجْرِى مِنِ ابْنِ آَدَمَ مَجْرَى الدَّمِ"
Artinya: "Sesungguhnya setan masuk (mengalir) ke dalam tubuh anak Adam mengikuti aliran darahnya"

وقيل:زاد بعض الرواة: فَضَيِّقُوْا مَجَاِريَهُ ِبالْجُوْعِ
Diriwayatkan bahwa sebagian para rawi menambahkan: "maka sempitkanlah jalan masuknya dengan lapar”.

Dalam kitab Ihya Uluumiddin, pada pembahasan tentang pengendalian syahwat perut dan syahwat seksual,  Imam Ghazali rahimahullah berbicara panjang lebar tentang manfaat berlapar-lapar dan bahaya kenyang.

Menurut Imam Ghazali penyebab terbesar celakanya manusia adalah hawa nafsu perut. Karena hawa nafsu inilah Nabi Adam alaihissalam dan ibunda hawwa dikeluarkan dari surga (negeri penuh kenikmatan) ke bumi (negeri penuh kesengsaraan).

Perut adalah sumber segala nafsu syahwat, sumber segala macam penyakit, sumber segala malapetaka.

Dari nafsu perut maka nafsu seksual semakin menggelora. Dari syahwat perut dan syahwat seksual muncullah kecintaan kepada kemegahan dan harta sebagai sarana pemuas kedua nafsu tersebut, lalu kecintaan kepada kemegahan dan harta menjadikan manusia saling sikut sana sini, saling dengki dan sebagainya.

Dari kedua nafsu tersebut, timbulnya sikap ria, bangga diri, dan sombong. Yang semuanya menyebabkan hati semakin busuk, penyebab permusuhan dan kemarahan. Lalu sifat-sifat tercela diatas menyebabkan manusia semakin durhaka kepada Allah SWT.

Realita ini telah dipraktikkan oleh beberapa"oknum" pejabat tinggi di Tanah Air kita tercinta saat ini. Lihat saja mereka tak pernah cukup dengan fasilitas mewah (halal) yang diberikan. Mereka malah semakin berlomba-lomba memenuhi nafsu perut dan syahwat berahi mereka. Memiliki "istri simpanan" dimana-mana, punya rumah-rumah mewah berserakan, kendaraan-kendaraan mentering tak terhitung, namun semua itu mereka dapati dari cara-cara yang tak halal, Merampok uang rakyak (korupsi), menindas yang lemah, dan perbuatan-perbuatan tak terpuji lainnya. Mereka tak ubahnya seperti binatang-binatang yang tak berakal, malah lebih hina dari binatang-binatang tersebut.

Dalam hadits yang lain, Nabi Muhammad SAW menyampaikan tentang kemampuan puasa dalam mengendalikan nafsu syahwat, ia bersabda:

يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ؛ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
Artinya :“Wahai para pemuda! Barangsiapa yang sudah memiliki kemampuan (untuk menikah), maka menikahlah. Karena hal itu lebih dapat menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu (menikah), maka hendaklah dia berpuasa karena hal itu menjadi benteng baginya”.  (Muttafaq Alaihi.)

Kata (الوجاء) dalam hadis diatas merupakan kalimat isim (kata benda) yang dalam kamus al-Munawwir diartikan penawar/penekan nafsu syahwat, kata dasar dari kalimat ini adalah   وَجَأَ- وَجْأً dalam kamus Lisanul Arab dijelaskan sebagai berikut:
الوَجْءُ اللَّكْزُ ووَجَأَه باليد والسِّكِّينِ
Wija’ artinya memukul atau memotong, memukul atau memotong dengan tangan atau dengan pisau.

Kata Wija’ ini dapat disimpulkan mengandung beberapa makna sebagai berikut:
a) Wija’ dapat diartikan secara sempit sebagai sebuah akibat dari seseorang yang melakukan puasa, yakni dapat menghentikan hawa nafsu.
b) Wija’ dapat diartikan secara luas sebagai sebuah manfaat yang disebabkan oleh seseorang melakukan puasa, seperti dapat mencegah dari perbuatan-perbuatan tercela, dapat menjadi pelipur lara seseorang yang ingin menikah, dan lain-lain.

Perlu diketahui, bahwa puasa hanya mengendalikan nafsu dan syahwat untuk sementara saja, bukan menghilangkan atau memusnahkannya. Sebab nafsu dan syahwat itu adalah bagian dari kelengkapan seorang manusia. Tanpa adanya nafsu dan syahwat, maka tidak bisa dikatakan manusia. Allah SWT telah berfirman tentang hal ini dalam salah satu ayat Al-Qur'an:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمَ‍َٔابِ
Artinya: "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada syahwat (apa-apa yang diingini), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)" (Qs. Ali Imran: 14).

Oleh karena nafsu syahwat merupakan sifat tabiat yang ada pada diri manusia, maka tak ada aturan-aturan Allah SWT yang memerintahkan untuk menghilangkannya. Karena jika ada aturan syariat yang memerintahkan untuk menghilangkan tabiat (nafsu syahwat) tersebut maka peraturan itu takkan pernah dapat dipikul (dijalankan), dan menurut diskursus ilmu Ushul Fiqh aturan yang tak dapat dipikul oleh manusia mustahil ada dalam syariat Allah SWT.

Aturan syariat hanya mengiginkan agar nafsu syahwat tersebut dikendalikan menuju kebaikan, disalurkan melalui media halal yang diridhai, bukan media haram yang dibenci.

Seperti syahwat makan dan minum misalnya, Allah SWT mensyari'atkan agar manusia memenuhinya dengan objek-objek yang halal lagi baik, dan tidak berlebih-lebihan.

Syahwat ingin menikah dan berkeluarga juga demikian, Allah SWT mensyariatkan agar manusia menyalurkan nafsu tersebut melalui proses pernikahan, bukan dengan berzina.     

Ramadhan bulan nan suci penuh ampunan baru saja undur diri meninggalkan kita, tahun depan ia pasti akan datang kembali. Namun, yang tak pasti adalah apakah kita akan berjumpa dengannya.

Ramadhan yang baru saja undur diri, meninggalkan pesan dan kesan berharga untuk kita demi menjalani lika-liku kehidupan dunia fana ini.

Ramadhan nan mulia tak sekedar bertamu tanpa maksud dan tujuan, ia datang untuk melatih kita mengendalikan hawa nafsu. Ia datang untuk membukakan pintu-pintu taubat bagi kita, membukakan pintu-pintu ampunan, membukakan pintu-pintu pahala yang berlipat ganda tak terkira.

Ramadhan nan berkah, mengajarkan kepada kita sifat empati kepada sesama, demi kehidupan penuh toleransi dan kedamaian.

Semoga pesan dan kesan Ramadhan ini selalu tertanam dalam diri pribadi kita masing-masing.
Semoga Allah SWT panjangkan umur kita untuk bertemu Ramadhan tahun depan Amiin yaa Rabbal 'Alamiin.

*Tulisan ini merupakan ringkasan materi khutbah Idul Fitri yang disampaikan penulis pada pagi Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1436 H/23 Agustus 2015, di Ruang Serbaguna KBRI - Rabat.