AL MUWAFAQAT
Karya Masterpiece Imam Syatibi (W: 790 H/1388 M)
(Kajian Historis, dan Kandungan Isi Kitab Secara Garis
Besar)
Oleh: Herdiansyah Amran, Lc.*
Bagi mereka yang berkecimpung dalam kajian Syariat Islam,
terkhusus fan Maqashid Syariah, tentu tidak asing lagi dengan sebuah
adikarya sang bintang Andalusia, Imam Abu Ishaq Asy Syatiby yang berjudul
"Al – Muwafaqat".
Bagaimana tidak, karena Al Muwafaqat saat ini merupakan
salah satu referensi paling primer bagi mereka yang ingin menyelami lebih dalam
kajian tentang Maqashid syari'ah.
Hal ini, tentu disebabkan karena ia merupakan kitab
pertama yang membahas kajian tentang Maqashid Syari'ah pada sub kajian
khusus secara mendetail. Yang belum pernah ada pada karya – karya pendahulunya.
Disebabkan betapa urgennya kitab yang satu ini, tentu
kajian terhadapnya juga tidak kalah urgen. Oleh karena itu, dalam tulisan ini
akan dibahas kajian tetang seluk-beluk Al Muwafaqat, yaitu mengenai sejarah dan
kandungan isinya secara garis besar.
Judul Kitab
Sudah lumrah di kalangan ulama terdahulu, dalam setiap
kata pengantar sebuah karya mereka, selalu disebutkan judul kitab yang ditulis
beserta alasan kenapa judul itu dipilih.
Begitu pula yang dilakukan oleh Imam Syatibi. Ia menyebutkan
dalam kata pengantarnya bahwa judul awal yang ia pilih untuk karya tulisnya
yang satu ini ialah "'Unwan At Ta'rif Fi Asrari At Taklif".
Namun kemudian, judul ini ia ganti menjadi Al Muwafaqat.
Disebabkan seorang guru yang sangat ia hormati bercerita kepadanya tentang
sebuah mimpi yang menimpa sang guru.
Sang guru itu bercerita bahwa di suatu malam, ia bermimpi
bertemu Imam Syatibi sedang memegang kitab yang ia tulis. Lalu sang guru bertanya
tentang kitab tersebut. Imam Syatibi pun menjawab bahwa kitab yang ada di tangannya
itu ialah Al Muwafaqat. Lebih lanjut sang guru pun kembali bertanya arti
nama yang indah itu. Imam Syatibi menjawab bahwa nama itu dipilih karena ia
ingin mempertemukan kesepahaman (Toleransi) antar dua Madzhab yang sama-sama
memiliki banyak pengikut fanatik di Andalusia saat itu, yaitu Madzhab Hanafiyyah
dan Malikiyyah.
Setelah mendegar cerita sang guru, dan menyadari adanya
kesamaan mengenai apa yang ia tulis dengan mimpi sang guru tersebut. Imam
Syatibi pun kemudian memilih Al Muwafaqat untuk nama kitabnya ini.
Kemudian, sebagian ulama kontemporer yang melakukan
editisasi menambahkan sisipan nama pada kitab Al Muwafaqat. Hal ini sepertimana
terlihat pada cetakkan yang diedit oleh Syekh Abdullah Diraz dengan judul Al
Muwafaqat Fi Ushul Asy Syariah.
Sedangkan pada cetakkan yang diedit oleh Syekh Muhyiddin
Abdul Hamid, berjudul Al Muwafaqat Fi Ushul Ahkam. Begitu pula pada cetakkan
yang dirilis berdasarkan bimbingan Prof. Muhammad Al Khadr At Tunisi dan Syekh
Husnin Makhluf.
Respon Para Ulama Tentang Al Muwafaqat
Kitab Al Muwafaqat pada awalnya dan beberapa abad
kemudian, tidak mendapat respon berarti dari para ulama. Ia seolah-olah tenggelam
ditelan bumi, menguap diantara hiruk-pikuk peradaban islam yang mulai
melemah mengiringi runtuhnya peradaban
islam di Andalusia.
Respon luar biasa terhadap Al Muwafaqat baru terjadi beberapa
abad kemudian. Yang dimulai dipenghujung abad ke – 19 M.
Respon tersebut, baik berupa karya seputar Al Muwafaqat
(Ringkasan, Nazham (Syair), Tahqiq, dll), maupun komentar positif terhadap
kitab dan isi kandungannya.
Beberapa karya yang dirilis seputar Al Muwafaqat antara
lain:
1.
Ringkasan (Kitab atau Ulama Yang
Meringkas):
-
Al Muna Fi Ikhtishary Al Muwafaqat, oleh Abu Bakar Bin
Ashim.
- Syekh Muhammad Yahya Bin Umar Al
Mukhtar Bin At Thalib Abdullah Al Walaty Asy Syinqity (w: 1330 H/1912 M).
-
Syekh Ibrahim Bin Thahir Bin Ahmad Bin
As'ad Al 'Azham (w: 1377 H/1957 M).
-
Taisir Al Muwafaqat Li Al Imam Asy
Syatibi, Oleh DR. Nu'man Jughaim.
-
Tahzib Al Muwafaqat, oleh Muhammad Bin
Husen Al Jaizany.
2.
Nazham (Syair):
- Nail Al Muna Min Al Muwafaqat.
- Muwafaq Al Muwafaqat, oleh Musthafa Bin
Muhammad Fadhil Bin Muhammad Ma'main Asy Syinqity Al Qalqamy (w: 1328 H/1910
M).
3.
Tahqiq (Ulama Pentahqiq):
- Syekh Abdullah Diraz
- Syekh Muhammad Muhyiddin Bin Abdul Hamid.
- Syekh Masyhur Bin Hasan Ali Salman.
4.
Karya tersendiri yang tetap merujuk
kepada Al Muwafaqat:
- Maqashid Asy Syariah Al Islamiyyah, karya Syekh Thaha
Bin Asyur At Tunisi (1879 M/1296 H – 1973 M/1393 H).
- Maqashid Asy Syariah Al Islamiyyah Wa
Makarimuha,
karya syekh 'Alal Al Fasi (1910 - 1974
M).
- Asy Syatibi Wa Maqashid Asy Syariah, karya
Hammady Al 'Ubaidy.
- Nazhriyyah Al Maqashid 'Inda Al Imam
Asy Syatibi,
karya DR. Ahmad Raisuni.
- Dan lain-lain.
Sedangkan pujian atau komentar positif
terhadap Kitab Al Muwafaqat sangat beragam, berikut beberapa diantaranya:
- Imam Marzuq berkomentar: "kitab Muwafaqat
merupakan salah satu kitab yang paling diterima".
-
Syekh Thaha Bin 'Asyur berpendapat
bahwa "Imam Syatibi merupakan yang pertama mencantumkan fan Ilmu Maqashid
pada satu pembahasan khusus di dalam sebuah karya tulis ilmiah".
- Syekh Ali Hasbullah: "Imam
Syatibi datang bersama kitabnya Al Muwafaqat yang belum pernah ada karya
seperti itu sebelumnya".
Pencetakan Al Muwafaqat:
Kitab Al Muwafaqat mengalami beberapa kali pencetakan,
yaitu sebagai berikut:
1. Dicetak untuk pertama kali di Tunis
pada tahun 1302 H/1884 M, oleh percetakan Negara. Dengan ditashih oleh tiga
ulama Universitas Az Zaitunah kala itu, mereka ialah Syekh Ali Asy Syanufy, Syekh
Ahmad Al Wartany, dan Syekh Shaleh Qaizy. Setebal 4 Juz.
kemudian setelah dicetak, syekh Musthafa
Bin Muhammad Fadhil Bin Muhammad Ma'main As Syinqity Al Qalqamy (w: 1328 H/1910
M), yang lebih dikenal dengan nama Maau Al 'Ainain menyusun nazhamnya. Karya ini ia beri judul "Muwafaq Al
Muwafaqat". Kemudian disyarah olehnya sendiri dengan judul "Al
Murafiq 'Ala Al Muwafiq". Syarah ini dicetak oleh percetakan Ahmad Yumna
di kota Fes tahun 1324 H. atas infaq dari seorang panglima tersohor (kala itu)
bernama Said Idris Bin 'Aisy. Setebal Satu jilid.
2.
Pencetakan juz pertama sebanyak 189
halaman di kota Qazan (ibu kota Negara At
Tatar, Rusia tahun 1327 H/1909 M.
3.
Dicetak di Mesir sebanyak 3 kali cetak,
tahun 1341 H/1922 M. oleh percetakan As Salafiyyah, atas infaq Abdul Hadi Bin Muhammad
Munir Ad Dimasyqy, beserta Ta'liq Syekh Muhammad
Al Khadr Husen pada juz 1 dan 2, ta'liq Syekh Muhammad Husnin Makhluf juz 3 dan
4.
kemudian dengan tahqiq Syekh Abdullah Diraz
disertai kata pengantar dan analisa mendalam dari Baliau. Didistribusikan oleh
percetakan At Tijariah Al Kubra - mesir.
Selanjutnya dengan tahqiq syekh
Muhammad Muhyiddin Bin Abdul Hamid, melalui percetakan Muhammad Ali Shabih.
Isi Kandungan Kitab Al Muwafaqat Secara Garis Besar:
Untuk membicarakan kandungan isi Kitab Al Muwafaqat,
penulis ingin membaginya kedalam 2 kategori, yaitu kategori umum dan Khusus.
Kategori umum berisi pembahasan isi kitab secara menyeluruh. Sedangkan kategori
khusus berisi pembahasan tentang Maqashid Asy Asyariah yang terdapat dalam
kitab.
Kategori Umum:
Secara umum, kitab Al Muwafaqat berisi 5 kajian inti,
yaitu sebagai berikut:
Ø Bagian
I:
Berisi pendahuluan yang terkandung didalamnya
sebanyak 13 muqaddimah. Ketiga belas muqaddimah merupakan panduan (ilmiah)
penting sebelum menyelami isi kitab secara keseluruhan.
Ø Bagian
II:
Berisi kajian tentang hukum-hukum
syariat, baik yang bersifat Taklify yaitu: Wajib, Sunnah, Haram;
Makruh, dan Mubah. Maupun yang bersifat Wad'i yaitu: Sebab,
Syarat, Mani'; Shahih dan Fasid, Azimah dan Rukhsoh.
Ø Bagian
III:
Berisi kajian tentang Maqashid
Syariah dan segala yang berhubungan dengannya dari hukum-hukum syariah.
Ø Bagian
VI:
Membahas tentang dalil-dalil sumber
pengambilan hukum. Yang mencakupi pembahasan terhadap kitab dan sunnah beserta
pembahasan yang berkaitan dengan keduanya, seperti pembahasan Khas
(khusus) dan 'Aam (Umum), Muthlaq dan Muqayyad, Nasakh
Mansukh, dan lain sebagainya.
Ø Bagaian
V:
berisi kajian tentang Ijtihad dan
Taqlid. Termasuk didalamnya tentang permasalan Ta'arud dan Tarjih,
Mufti dan Mustafti.
Jika kita perhatikan secara menyeluruh dari pembagian
diatas, dapat disimpulkan bahwa kitab Al Muwafaqat berisi pembahasan inti yang
selalu dikaji dalam kajian Ushul Fiqh.
Hanya saja Imam Syatibi selalu menyertakan ruh Maqashid dalam
setiap pembahasannya. Dimulai dari muqaddimah hingga akhir kitabnya tentang
ijtihad.
Kategori Khusus:
Jika diatas merupakan cakupan isi kandungan Al Muwafaqat
secara umum, maka dalam pembahasan ini akan diulas secara
khusus tentang bagian ke tiga yang terdapat dalam Al Muwafakat, yaitu tentang Maqashid
Syariah.
Pembahasan Maqashid Syariah dalam Al Muwafaqat dapat
dibagi ke dalam 4 bagian:
Pertama, Muqaddimah yang membahas ringkas tentang Illah
dan Hikmah hukum syariah.
Kedua, Maqasid Syari' yang berisi pembahasan
mengenai tujuan Allah Swt menurunkan undang-undang berupa hukum-hukum syariat
kepada hambanya (Manusia) di Dunia.
Ketiga, Maqasid Mukallaf, yang mengkaji tentang
niat (tujuan) manusia disegala aktivitas yang ia kerjakan dalam kehidupannya di
dunia ini.
Keempat, penutup yang berisi kajian khusus tentang bagaimana
cara mengetahui Maqashid Syari'.
Diawal pembahasan tentang Maqashid Syariah dalam kitabnya
Al Muwafaqat, Imam Syatibi membagi Maqashid (berdasarkan sumber asalnya) kepada
dua macam. Yaitu Maqashid syari' (Allah Swt) dan Maqashid Mukallaf
(manusia sebagai hamba).
Maqashid Syari' terbagi empat macam, yaitu:
- Maqashid Syari' dalam meletakkan syariat
untuk permulaan (tujuan utama syariat diturunkan).
- Maqashid Syari' dalam meletakkan
syariat untuk dipahami. (adanya syariat agar dipahami).
- Maqashid Syari' mengenai tatacara manusia
masuk kedalam koridor syariat dan bagaimana mengamalkan syariat tersebut.
- Maqashid Syari' jika manusia sudah berada
dalam koridor syariat.
Sebelum menerangkan secara rinci empat macam Maqashid
Syari' inilah Imam Syatibi memberikan pendahuluan tentang apakah
hukum-hukum syariat itu mengandung illah atau hikmah. Pendahuluan
ini sangat penting dalam pembahasan Maqashid selanjutnya.
Karena jika hukum-hukum syariat tanpa illah atau hikmah,
maka pembahasan tentang Maqashid syariah takkan pernah hadir. Karena inti
kajian Maqashid adalah tentang Illah atau hikmah (tujuan)
diturunkannya hukum-hukum tersebut.
Dalam hal ini, para ulama terbagi ke dalam dua kelompok,
kelompok pertama berpendapat, bahwa hukum syariat tidak mengandung illah
atau hikmah sama sekali. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Arrazi.
Sedangkan kelompok kedua berpendapat, bahwa hukum – hukum
syariat mengandung hikmah, yakni memelihara kemaslahatan umat manusia di dunia
dan di akhirat. pendapat ini dipelopori oleh kaum Mu'tazilah, yang kemudian
disepakati para ulama fiqh komtemporer, termasuk Imam Syatibi.
Setelah meyakinkan bahwa hukum-hukum syariat mengandung
hikmah. Maka kemudian Imam syatibi mulai merinci pembahasan Maqashid Syari' sebagai
berikut:
1. Maqashid
Syari' dalam meletakkan syariat untuk permulaan (tujuan utama syariat
diturunkan).
Dalam pembahasan pertama tentang
maqashid syari' ini, Imam Syatibi membaginya kepada 13 masalah (sub bahasan).
Inti pembahasan dari ketiga belas 13
masalah ini adalah bahwa tujuan diberlakukannya syariat ialah demi keberlangsungan
kehidupan di alam raya berserta isinya. Yang kemudian bisa dirinci ke dalam 3
bagian:
- Tingkatan
Maqashid berdasarkan kemaslahatan, beserta hubungan tingkatan satu dengan
yang lain. (Macam Maqashid syariah berdasarkan kemaslahatan terbagi tiga, yaitu
Daruriyyat (primer), Hajiyyat (sekunder), Tahsiniyyat
(tersier); Hubungan ketiganya saling melengkapi satu dengan yang lain; Syarat-syarat
menjadi pelengkap; Daruriyyat sumber asal Hajiyyat dan Tahsiniyyat)
- Tinjauan
Mashalih (kemaslahatan) dan Mafasid (kerusakan) dalam
syariat. (kemaslahatan dan kerusakan berdasarkan persepektif syariat dan
realita di lapangan; Persepektif Dunia; persepektif Akhirat; Syariat bertujuan
membangun kemaslahatan dunia dan akhirat; kemaslahatan yang dipertahankan
syariat dan kerusakan yang dicegah syariat; kemaslahatan dunia sebagai
pijakan kemaslahatan akhirat; bukti-bukti bahwa syariat bertujuan menjaga
kemaslahatan Daruriyyat, Hajiyyat, dan Tahsiniyyat; Kemaslahatan
Daruriyyat, Hajiyyat, dan Tahsiniyyat bersifat universal,
tidak dapat dibantah oleh permasalahan yang bersipat parsial).
- Syariat
terjaga sepanjang masa.
2. Maqashid
Syari' dalam meletakkan syariat untuk dipahami.
Pembahasan bagian kedua ini terbagi
kedalam 5 masalah. Inti pembahasannya ialah bahwa syariat ini diturunkan
dalam bahasa Arab, dan bersifat ummi. Yang kemudian bisa dirinci menjadi
4 bagian:
- Al
Qur'an berbahasa Arab seluruhnya, tidak ada campuran bahasa 'Ajam
(Asing) di dalamnya.
- Penerjemahan
dan penafsiran Al Qur'an ke dalam bahasa asing.
- Syariat
bersifat ummi, karena diturunkan kepada Nabi dan penduduk yang
mayoritas ummi. (Artinya syariat turun dengan kemudahan untuk
dipahami).
- Cara
menggali hukum syariat berdasarkan Nash-nash syariat, (apakah
melalui pemahaman tersurat atau tersirat, atau kedua-duanya).
3. Maqashid
Syari' mengenai tatacara manusia masuk kedalam koridor syariat dan bagaimana
mengamalkan syariat tersebut.
Pembahasan bagian ini terbagi kedalam
12 masalah. Dengan inti kajiannya bahwa hukum syariat dibebankan kepada mereka
yang mampu melaksanakannya. Yang kemudian dapat dirinci kedalam 3 bagian:
- Qudrah (Kemampuan) seorang hamba adalah
syarat diberlakukannya bembebanan hukum kepadanya.
- Masyaqqah (Kesusahan)
dalam pelaksanaan hukum syariat. (Pengertian Masyaqqah; Masyaqqah
yang dianggap dan tidak dianggap oleh syariat; Masyaqqah melawan
hawa nafsu; Tingkatan Masyaqqah berbeda-beda).
- Wasathiyyah (tidak berlebih-lebihan)
dalam syariat islam.
4. Maqashid
Syari' jika manusia sudah berada dalam
koridor syariat.
Pembahasan bagian terakhir dari
Maqashid Syari' ini terbagi kedalam 20 masalah. Inti pembahasannya adalah bahwa
tujuan syariat diturunkan ialah untuk mengeluarkan manusia dari kongkongan hawa
nafsunya, sehinggga ia ikhlas dalam menjalankan titah Tuhannya. Tanpa merasa
terpaksa. Rincian pembahsan ini bisa dibagi kedalam 9 bagian:
- Maqashid
berdasarkan orientasinya terbagi terbagi dua, Ashli (utama/pokok),
dan Tabi'ah (turunan/rincian).
- Daruriyyat terbagi dua;
pertama: Manusia mendapatkan kemaslahatannya secara langsung; Kedua: Manusia
tidak mendapat kemaslahatannya secara langsung.
- Kewajiban
dalam ibadah setiap orang tidak boleh digantikan oleh orang lain.
Sedangkan dalam hal mu'amalah boleh ada pengganti.
- Pelaksanaan
syariat bersifat Dawam (kontinuitas).
- Syariat
bersifat universal bagi setiap Mukallaf, tidak dikhususkan kepada
pihak atau golongan tertentu. Semuanya sama dimata syariat.
- Segala
kelebihan yang diberikan Allah Swt kepada Rasululllah Saw, juga
diberikan sebagiannya kepada umatnya (karena sifat syariat yang universal
itu tadi).
- Prasyarat
diterimanya Karamah para wali adalah bahwa karamah itu harus selalu
dalam koridor syariat islam.
- Adat
istiadat (kebiasaan) dalam tinjauan syariat dan hukum adat.
- Besarnya
Ketaatan dan kemaksiatan berdasarkan kemaslahatan dan kerusakan yang
ditimbulkan oleh perbuatan tersebut.
Setelah selesai pembahasan mengenai Maqashid Syari',
Imam Syatibi melanjutkan pembahasannya mengenai Maqashid Mukallaf yang
ia bagi kedalam 12 masalah.
Inti pembahasan mengenai Maqashid Mukallaf adalah
bahwa setiap tindakan yang dilakukan manusia sebagai seorang hamba, harus
sesuai dengan Maqashid Syari'.
Rincian kajian ini dapat dibagi kedalam 6 bagian:
- Hukum perbuatan manusia didasarkan
kepada niatnya.
- Segala niat (perbuatan) yang menyalahi Maqashid
Tuhan, maka perbuatan itu dianggap tidak sah (batal).
- Macam –macam tindakan berdasarkan selaras
atau tidak selaras dengan Maqashid Tuhan.
- Macam – macam tindakan berdasarkan
kemaslahatan dan kerusakan yang ditimbulkan.
- Hukum menggugurkan hak Allah Swt dan hak
hamba.
- Tipu muslihat dalam beribadah.
Pentupan
Pembahasan terakhir tentang Maqashid Syariah dalam
Al Muwafaqat ialah tentang bagaimana cara mengetahui Maqashid Syari'.
Dalam hal ini, Imam Syatibi mengajukan beberapa metode
agar dapat mengetahui Maqashid Syari',
yaitu sebagai berikut:
a) Berdasarkan Amar (perintah) dan
Nahi (larangan) yang terdapat secara jelas dalam nash-nash Al Qur'an dan
Hadist.
b) Berdasarkan Illah Amar
dan Nahi, yaitu untuk apa diperintahkan, dan untuk apa dilarang.
c) Dengan mengetahui Maqashid Ashli
dan Thabi'i yang tersurat secara jelas pada nash.
Referensi:
-
Nazhriyyah Al Maqashid 'Inda Al Imam
Asy Syatibi,
DR. Ahmad Raisuni, Dar Al Amn-Rabat, Cet: 3, Thn: 1430 H/2009 M.
-
Al Muawafaqat, editor syekh
Abdullah Diraj, Dar Al Hadist – Cairo 2006.
-
Al Muawafaqat, editor Abu 'Ubaidah
Masyhur Bin Hasan Ali Salman, Dar Ibn Affan – Saudi Arabia, Cet. Ke-1, Thn 1417
H/1997 M.
-
Maqashid Asy Syariah Al Islamiyyah Wa
Makarimuha, 'Alal Al Fasi, editor: DR. Ismail Hasani, Dar As Salam – Mesir, Cet:1,
Thn: 1432 H/2011 M.
-
Muhadharat Fi Al Maqashid Asy Syariah, DR. Ahmad Raisuni, Dar
As Salam – Mesir, Cet: 1, Thn: 1430 H/2009 M.
-
Taisir Al Muwafaqat Li Al Imam As
Syatibi,
DR. Nu'man Jughaim, Ibn Hazm-Lebanon, Cet:1, Thn: 2009.
-
Tahdzib Al Muwafaqat, Muhammad Bin Husen
Al Jaizany, Dar Ibn Al Jauzy - Sausi Arabia, 1421 H/2000 M.
*Mahasiswa S2 Universitas Qady Ayyad - Marrakech, spesialisasi "Fikih Kontemporer Modern". Telah menyelesaikan S1 di Universitas Hassan II - Mohammedia, spesialisasi "Fikih Ushul" dengan judul skripsi "Peran Maqashid Syri'ah Dalam Ijtihad".
. kitab ini berbentuk
Nazham (Al Muwafaqat) yang selesai disusun pada akhir Bulan Rabi'u Stani tahun
820 H. Oleh salah satu murid Imam Syatibi yang lain. Namun para peneliti tidak
menyebutkan siapa nama sang penyusun nazham ini. Sedangkan sebagian peneliti
ada yang menisbahkannya kepada Syekh Abu Bakar Bin Ashim. Berdasarkan informasi
dari Prof. Abu Al Ajfan dalam
kitabnya Fatawa Asy Syatibi ia mengatakan bahwa kitab ini masih terdapat
di perpustakaan Der Al Askarial di Spanyol dengan tulisan tangan bernomor: 1164.
Dan merupakan kitab berbahasa Arab yang paling Populer di perpustakaan kerajaan
Spanyol. Kitab inipun
belum pernah dicetak.