PESAN DAN KESAN
RAMADHAN
*Dalam Tinjauan Maqashid Syari'ah
Dalam
perspektif teori Maqashid Syari'ah, disepakati bahwa Syariat (aturan –
aturan hukum) Allah SWT yang dibebankan kepada manusia mengandung tujuan atau maqashid
tertentu. Inti utama maqashid hukum tersebut (secara universal) adalah
agar terciptanya kemaslahatan (kebaikan) hidup manusia di Dunia dan Akhirat.
Kemaslahatan
manusia takkan tercapai kecuali dengan menjalankan aturan-aturan Allah SWT
tersebut. Sedangkan tak mungkin seorang manusia bisa maksimal menjalankan
aturan Tuhannya kecuali dengan melepaskan diri dari belenggu hawa nafsunya. Maka
dalam hal ini aturan-aturan hukum Allah SWT (secara parsial) juga berfungsi untuk
melepaskan manusia dari belenggu hawa nafsunya.
Hakikat
manusia diciptakan adalah sebagai hamba yang tunduk dan patuh kepada aturan-aturan
Allah SWT secara sukarela, bukan hamba yang tunduk dan patuh kepada hawa
nafsunya.
Hal ini tertuang dalam beberapa ayat-ayat suci Al-Qur'an yang
berbunyi:
وَمَا
خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
Artinya:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku" (Qs. Az-Zariyat: 56)
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ
لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Artinya:
"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa" (Qs. Al-Baqarah: 21)
وَٱعۡبُدُواْ
ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗۖئًا...
Artinya:
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun" (Qs. An-Nisa: 36)
Manusia
tidak boleh menyalahi maqashid penciptaan (penghambaan). Oleh karena
itu, syariat melarang manusia menyalahi segala perintah dan larangan Allah SWT.
Allah
Swt mencela manusia yang berpaling dari-Nya. Hal ini bisa kita saksikan dari
berbagai sangsi yang diberikan jika manusia melanggar aturan-aturan-Nya, baik sangsi di Dunia maupun
di Akhirat.
Allah
SWT mengklaim manusia yang mengikuti bujuk rayu hawa nafsu dan syahwatnya,
adalah mereka yang menyalahi maqashid penciptaan. Beberapa ayat
Al-Qur'an yang berbicara tentang hal ini
sebagai berikut:
يَٰدَاوُۥدُ
إِنَّا جَعَلۡنَٰكَ خَلِيفَةٗ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ
وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ...
Artinya:
"Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah. (Qs. Sad: 26)
فَلَا
تَتَّبِعُواْ ٱلۡهَوَىٰٓ أَن تَعۡدِلُواْۚ
Artinya: "Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran" (Qs. An-Nisa:135)
وَمَا
يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣ إِنۡ
هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ
Artinya:
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (Qs. An – Najm)
أَفَرَءَيۡتَ
مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٖ وَخَتَمَ
عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةٗ...
Artinya:
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah
telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya?" (Qs. Al Jatsiyah:23)
وَلَوِ
ٱتَّبَعَ ٱلۡحَقُّ أَهۡوَآءَهُمۡ لَفَسَدَتِ ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ وَمَن
فِيهِنَّۚ بَلۡ أَتَيۡنَٰهُم بِذِكۡرِهِمۡ فَهُمۡ عَن ذِكۡرِهِم مُّعۡرِضُونَ
Artinya:
"Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti
binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami
telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka
berpaling dari kebanggaan itu" (Qs. Al Mu'minun: 71)
...أُوْلَٰٓئِكَ
ٱلَّذِينَ طَبَعَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ وَٱتَّبَعُوٓاْ أَهۡوَآءَهُمۡ
Artinya:
"Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti
hawa nafsu mereka" (Qs. Muhammad: 16)
أَفَمَن
كَانَ عَلَىٰ بَيِّنَةٖ مِّن رَّبِّهِۦ كَمَن زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ وَٱتَّبَعُوٓاْ
أَهۡوَآءَهُم
Artinya:
"Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Rabbnya
sama dengan orang yang (shaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya
yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya" (Qs. Muhammad: 14)
Kata-kata" الهوى " atau "Hawa Nafsu" pada ayat-ayat diatas
semuanya berkonotasi negatif. Hawa nafsu merupakan sumber segala kerusakan alam
semesta, ia dapat memperbudak manusia, dan penyebab tergelincirnya manusia dari
jalan Allah SWT.
Ibnu
Abbas Radhiyallahu 'Anhu berkata: " Allah SWT tidak menyebut "hawa
nafsu" (الهوى) di dalam Al-Qur'an, kecuali Ia
mencelanya".
Dengan
demikian, manusia dihadapkan kepada dua pilihan, Syari'at Allah SWT (Wahyu) dan
Hawa nafsu atau syahwat. Tunduk dan patuh kepada Allah SWT, atau tunduk dan
patuh kepada hawa nafsunya. Tunduk dan patuh kepada Allah SWT itu yang diminta.
Sedangkan, tunduk dan patuh kepada hawa nafsu itu yang dicela.
Hal
ini, karena wahyu dan hawa nafsu adalah dua elemen yang kontradiktif. Jika
wahyu adalah kebenaran dari Allah SWT, maka hawa nafsu adalah musuh dari
kebenaran tersebut. Jika mengikuti wahyu adalah mengikuti jalan kebenaran, maka
mengikuti hawa nafsu adalah mengikuti jalan kesesatan.
Allah
SWT pencipta kita adalah zat yang Maha Tahu. Ia tahu apa yang kita butuhkan
agar kebahagiaan dunia dan akhirat dapat kita raih. Ia tahu bahwa tanpa
tuntunan-Nya kita takkan sampai kepada-Nya. Ia tahu, tanpa tuntunan-Nya manusia
akan terlena oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syahwat.
Oleh
karena itu, Ia buatkan aturan-aturan hidup bagi kita manusia. Aturan berupa
perintah untuk dikerjakan. Aturan berupa larangan untuk ditinggalkan.
Aturan-aturan
hidup tersebut, takkan pernah luput dari tujuan-tujuan diatas, yakni kemaslahatan
kita di Dunia dan Akhirat, serta terbebas dari jebakan hawa nafsu.
Salah
satu perintah Allah SWT yang baru saja kita laksanakan, ialah perintah berpuasa
sebulan penuh di bulan Ramadhan.
Perintah
puasa merupakan salah satu media yang disediakan Allah SWT untuk melatih kita
agar terlepas dari belenggu hawa nafsu. Dengan puasa kita dilatih untuk mengendalikan
syahwat makan, minum, berhubungan suami istri, dan syahwat-syahwat lain yang dapat
membatalkan puasa, mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.
Dengan
lapar dan dahaga hawa nafsu akan mudah untuk dikendalikan. Sebaliknya, kenyang
akan menyebabkan nafsu semakin menggelora.
Kata Nabi SAW:
"
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَجْرِى مِنِ ابْنِ آَدَمَ مَجْرَى الدَّمِ"
Artinya:
"Sesungguhnya setan masuk (mengalir) ke dalam tubuh
anak Adam mengikuti aliran darahnya"
وقيل:زاد
بعض الرواة: فَضَيِّقُوْا مَجَاِريَهُ ِبالْجُوْعِ
Diriwayatkan
bahwa sebagian para rawi menambahkan: "maka sempitkanlah
jalan masuknya dengan
lapar”.
Dalam
kitab Ihya Uluumiddin, pada pembahasan tentang pengendalian syahwat
perut dan syahwat seksual, Imam
Ghazali rahimahullah berbicara panjang lebar tentang manfaat
berlapar-lapar dan bahaya kenyang.
Menurut
Imam Ghazali penyebab terbesar celakanya manusia adalah hawa nafsu perut.
Karena hawa nafsu inilah Nabi Adam alaihissalam dan ibunda hawwa
dikeluarkan dari surga (negeri penuh kenikmatan) ke bumi (negeri penuh kesengsaraan).
Perut
adalah sumber segala nafsu syahwat, sumber segala macam penyakit, sumber segala
malapetaka.
Dari
nafsu perut maka nafsu seksual semakin menggelora. Dari syahwat perut dan
syahwat seksual muncullah kecintaan kepada kemegahan dan harta sebagai sarana
pemuas kedua nafsu tersebut, lalu kecintaan kepada kemegahan dan harta
menjadikan manusia saling sikut sana sini, saling dengki dan sebagainya.
Dari
kedua nafsu tersebut, timbulnya sikap ria, bangga diri, dan sombong. Yang
semuanya menyebabkan hati semakin busuk, penyebab permusuhan dan kemarahan.
Lalu sifat-sifat tercela diatas menyebabkan manusia semakin durhaka kepada
Allah SWT.
Realita
ini telah dipraktikkan oleh beberapa"oknum" pejabat tinggi di Tanah
Air kita tercinta saat ini. Lihat saja mereka tak pernah cukup dengan fasilitas
mewah (halal) yang diberikan. Mereka malah semakin berlomba-lomba memenuhi
nafsu perut dan syahwat berahi mereka. Memiliki "istri simpanan"
dimana-mana, punya rumah-rumah mewah berserakan, kendaraan-kendaraan mentering
tak terhitung, namun semua itu mereka dapati dari cara-cara yang tak halal,
Merampok uang rakyak (korupsi), menindas yang lemah, dan perbuatan-perbuatan
tak terpuji lainnya. Mereka tak ubahnya seperti binatang-binatang yang tak
berakal, malah lebih hina dari binatang-binatang tersebut.
Dalam
hadits yang lain, Nabi Muhammad SAW menyampaikan tentang kemampuan puasa dalam
mengendalikan nafsu syahwat, ia bersabda:
يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ،
وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ؛ فَإِنَّهُ
لَهُ وِجَاءٌ.
Artinya :“Wahai para pemuda! Barangsiapa yang sudah
memiliki kemampuan (untuk menikah), maka menikahlah. Karena hal itu lebih dapat
menahan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu
(menikah), maka hendaklah dia berpuasa karena hal itu menjadi benteng baginya”.
(Muttafaq Alaihi.)
Kata
(الوجاء) dalam hadis diatas merupakan kalimat isim (kata benda) yang dalam kamus
al-Munawwir diartikan penawar/penekan nafsu syahwat, kata dasar dari kalimat
ini adalah وَجَأَ- وَجْأً dalam kamus Lisanul
Arab dijelaskan sebagai berikut:
الوَجْءُ اللَّكْزُ ووَجَأَه باليد والسِّكِّينِ
Wija’
artinya memukul atau memotong, memukul atau memotong dengan tangan atau dengan
pisau.
Kata
Wija’ ini dapat disimpulkan mengandung beberapa makna sebagai berikut:
a)
Wija’ dapat diartikan secara sempit sebagai sebuah akibat dari seseorang yang
melakukan puasa, yakni dapat menghentikan hawa nafsu.
b)
Wija’ dapat diartikan secara luas sebagai sebuah manfaat yang disebabkan oleh
seseorang melakukan puasa, seperti dapat mencegah dari perbuatan-perbuatan
tercela, dapat menjadi pelipur lara seseorang yang ingin menikah, dan
lain-lain.
Perlu
diketahui,
bahwa puasa hanya mengendalikan nafsu dan syahwat untuk
sementara saja, bukan menghilangkan atau memusnahkannya. Sebab nafsu dan syahwat
itu adalah bagian dari kelengkapan seorang manusia. Tanpa adanya nafsu dan
syahwat, maka tidak bisa dikatakan manusia. Allah SWT telah berfirman tentang
hal ini dalam salah satu ayat Al-Qur'an:
زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ
مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ
ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمََٔابِ
Artinya: "Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada syahwat (apa-apa yang diingini), yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)" (Qs. Ali Imran: 14).
Oleh karena nafsu syahwat merupakan
sifat tabiat yang ada pada diri manusia, maka tak ada aturan-aturan Allah SWT
yang memerintahkan
untuk menghilangkannya. Karena jika ada aturan syariat yang memerintahkan untuk
menghilangkan tabiat (nafsu syahwat) tersebut maka peraturan
itu takkan pernah dapat dipikul (dijalankan), dan menurut diskursus ilmu Ushul Fiqh
aturan yang tak dapat dipikul oleh manusia mustahil ada dalam syariat Allah
SWT.
Aturan syariat hanya mengiginkan
agar nafsu syahwat tersebut dikendalikan menuju kebaikan, disalurkan melalui
media halal yang diridhai, bukan media haram yang dibenci.
Seperti syahwat makan dan minum
misalnya, Allah SWT mensyari'atkan agar manusia memenuhinya dengan objek-objek
yang halal lagi baik, dan tidak berlebih-lebihan.
Syahwat ingin menikah dan
berkeluarga juga demikian, Allah SWT mensyariatkan agar manusia menyalurkan
nafsu tersebut melalui proses pernikahan, bukan dengan berzina.
Ramadhan bulan nan suci penuh
ampunan baru saja undur diri meninggalkan kita, tahun depan ia pasti akan
datang kembali. Namun, yang tak pasti adalah apakah kita akan berjumpa
dengannya.
Ramadhan yang baru saja undur diri,
meninggalkan pesan dan kesan berharga untuk kita demi menjalani lika-liku kehidupan
dunia fana ini.
Ramadhan nan mulia tak sekedar
bertamu tanpa maksud dan tujuan, ia datang untuk melatih kita mengendalikan
hawa nafsu. Ia datang untuk membukakan pintu-pintu taubat bagi kita, membukakan
pintu-pintu ampunan, membukakan pintu-pintu pahala yang berlipat ganda tak
terkira.
Ramadhan nan berkah, mengajarkan kepada kita
sifat empati kepada sesama, demi kehidupan penuh toleransi dan kedamaian.
Semoga pesan dan kesan Ramadhan ini
selalu tertanam dalam diri pribadi kita masing-masing.
Semoga
Allah SWT panjangkan umur kita untuk bertemu Ramadhan tahun depan
Amiin
yaa Rabbal 'Alamiin.
*Tulisan ini merupakan ringkasan materi khutbah Idul Fitri yang disampaikan penulis pada pagi Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1436 H/23 Agustus 2015, di Ruang Serbaguna KBRI - Rabat.